“Di mata Tuhan, kita semua adalah sama. Tetapi di mata Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, tidak semua tersangka koruptor adalah sama.”
Adagium ini saya buat spontan usai melihat kedatangan Ketua KPK Firli Bahuri menengok Gubernur Papua Lukas Enembe di rumah kediaman tersangka rasuah di Jayapura, Papua (Kamis, 3 November 2022).
Pascaditetapkan sebagai tersangka gratifikasi senilai Rp 1 miliar dan lemparan sangkaan bahwa Lukas kerap mondar-mandir ke negeri jiran untuk menghabiskan dana ratusan miliar rupiah di meja judi, KPK begitu “tidak berdaya” menghadapi Lukas.
Baru kali ini dalam sejarah berdirinya KPK, seorang tersangka rasuah begitu licin bagai belut sehingga KPK tidak sanggup menghadirkan tersangka ke Gedung Merah Putih, KPK di Jakarta.
Silat lidah tim pembela hukum Lukas begitu digdaya membantah tuduhan KPK. Panggilan berkali-kali yang dilayangkan KPK, baik untuk Lukas maupun kerabatnya, hilang tidak tahu rimbanya walau semua sudah paham tersangka dan saksi masih bersemayam tenang di Jayapura.
Dalam episode-episode penegakkan hukum KPK terutama saat mencokok kepala daerah yang setara jabatannya dengan Lukas, misalnya Nurdin Abdullah saat menjabat Gubernur Sulawesi Selatan, KPK begitu garang dan perkasa.
Nurdin Abdullah ditangkap KPK pada pukul 02.00, di rumah dinas gubernur di Makassar, Sulawesi Selatan. Penuh drama dan sensasi, lengkap dengan narasi aksi “kejar-kejaran” dengan para tersangka rasuah lainnya yang tertangkap tangan (Kompas.com, 28/02/2021).
Zumi Zola saat menjabat Gubernur Jambi juga mengalami kisah pilu usai ditetapkan sebagai tersangka gratifikasi atas sejumlah proyek. Drama penangkapan KPK yang diberi nama nomenklatur “Operasi Tangkap Tangan” atau OTT meringkus beberapa pejabat Provinsi Jambi di Jambi dan Jakarta (Tempo.co, 2 Februari 2018).
Belum lagi jika konteks OTT atau penahanan para kepala daerah usai ditetapkan status hukumnya sebagai tersangka, KPK bak aksi pemberantas kejahatan di fim-film mengenakan “rompi oranye” lengkap dengan konferensi pers dengan menghadirkan para kepala daerah yang ditahan dengan menghadap ke arah belakang.
Mengapa KPK begitu lemah tidak berdaya menghadapi aksi “pembangkangan” tersangka Lukas Enembe?
Alasan sakit “berat” yang diklaim dari pihak Lukas Enembe dan tim kuasa hukumnya harus diakui bisa memaksa KPK bertindak lunak.
Semua paham, untuk setiap penanganan kasus-kasus yang melibatkan elite-elite Papua selalu dikaitkan dengan kondisi keamanan dan sosial yang rawan di Tanah Papua. Hanya saja dalam kasus penegakkan hukum, alasan tersebut tidak bisa dibenarkan.
Masih banyak rakyat Papua yang meringkuk dalam dingin cuaca dan menahan lapar karena ketiadaan bahan pangan.
Masih banyak pemuda-pemudi Papua yang bingung dengan masa depannya karena tiadanya lapangan kerja.
Masih ada rakyat Papua yang belum bisa menikmati mulusnya jalan aspal, kelengkapan fasilitas kesehatan yang tidak memadai karena alokasi anggaran pembangunan apalagi dana otonomi khusus masih banyak dikangkangi para elite pemerintah yang kebal terhadap hukum.