SAYA merasa heran sekaligus kaget membaca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Pengujian Pasal 170 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Mahkamah Konstitusi memutuskan, bagi menteri yang mencalonkan diri sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya.
Keheranan saya semakin menjadi-jadi ketika Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum point [3.12.3] Mahkamah berpendapat, "untuk memberi perlindungan terhadap hak konstitusional warga negara in casu untuk dapat dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden".
Sikap Mahkamah sebagaimana dalam butir di atas sangat berbeda (baca: inkonsistensi) ketika puluhan gugatan yang diajukan oleh perorangan warga negara, partai politik, anggota DPD RI, mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU Pemilu.
Dalam pokok permohonan mengenai ambang batas Pencalonan Presiden, secara umum mendalilkan, pemberlakuan Presidential threshold merampas hak pemilih untuk mendapatkan calon presiden yang bervariasi (untuk pemohon perorangan), membatasi partai politik peserta pemilu untuk mengajukan calon atau kader terbaik mereka (pemohon partai politik) dan membatasi tokoh-tokoh bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden (pemohon bakal calon presiden atau wakil presiden seperti Yusril Ihza Mehendra, Rizal Ramli dll)
Dalam pengujian Pasal 222 UU Pemilu, lembaga yang dipimpin Anwar Usman, adik Ipar Joko Widodo, menyebutkan bahwa pasal 222 adalah syarat pencalonan presiden, dan tidak ada hubungannya dengan "kesempatan yang sama in casu pencalonan presiden dan wakil presiden".
Rakyat tetap bisa memilih calon presiden, partai politik yang tidak mencapai ambang batas bisa berkoalisi, dan seterusnya.
Dari dua alasan Mahkamah itu saya berpendapat, Mahkamah "bermuka dua" dalam isu mengenai hak konstitusional warga negara untuk dipilih dan memilih (right to candidate).
Terlihat lebih buruk lagi, ketika Ketua MK itu membacakan frasa "maka pembatasan tersebut adalah bentuk diskriminasi terhadap partai politik saat mencalonkan kader terbaiknya sebagai calon presiden dan wakil presiden."
Sadar atau tidak, Mahkamah "hipokrit" terhadap pembatasan pasal 222 UU Pemilu itu.
Kalau memang Mahkamah konsisten, maka pertimbangan hukum terhadap pengujian Pasal 222 harus sama, yaitu diskriminasi politik.
Diskriminasi terlihat jelas dalam ketentuan pasal 222 itu, karena tidak memberikan perlakuan yang sama (sangat tidak adil) bagi warga negara yang memiliki hak pilih dalam pemilu, tidak adil terhadap putra-putri terbaik bangsa yang potensial dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden, dan tidak memperlakukan partai politik secara adil untuk mencalonkan kader terbaiknya dalam pilpres.
Terlepas putusan MK yang demikian, putusan pengadilan tetap kita hormati. Namun kalau MK tidak menghormati dirinya sendiri dengan putusan-putusan yang tidak berkualitas dan berpihak pada konstitusi, bagaimana kita menghormati putusan Mahkamah itu?
Dari berbagai putusan MK, saya menduga, sejauh mengenai isu pemilu, lembaga ini menjadi tunggangan atau ditunggangi oleh kepentingan politik dan partai politik.
Karena semua yang menguntungkan partai politik dan jabatan politik telah diakomodasi oleh Mahkamah.