PERBEDAAN adalah sebuah keniscayaan. "Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (Al-Quran)."
Setiap anak manusia yang lahir ke muka bumi adalah unik. Keunikan tersebut kemudian melahirkan apa yang kemudian disebut sebagai identitas.
Kita tidak pernah mengajukan penawaran kepada Tuhan untuk terlahir dari suku bangsa manapun, bahkan juga dari seorang ibu yang mana.
Mengenal orang dan suku bangsa lainnya tidak saja hanya sebatas nama dan adat budayanya, namun lebih dari itu ialah dapat memahami esensi dari perbedaan tersebut, yaitu kesadaran pluralitas.
Kesadaran pluralitas inilah yang kemudian para pemuda mengidentifikasi diri sebagai Jong Java, Jong Soematra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Batak Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaum Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar Indonesia membuat kesepakatan melalui penyatuan visi dengan satu komitmen yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Dalam Kongres Pemuda pada 28 Oktober 1928, para pemuda berkomitmen bahwa Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku bertumpah darah yang satu Tanah Indonesia, Berbangsa yang satu Bangsa Indonesia dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia (Suryanegara, 2017).
Maka hendaknya kita juga belajar meneguhkan semangat mereka dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara dalam konteks kekinian dan selamanya.
Mengapa semangat para pemuda 1928 tersebut menjadi penting untuk terus kita pupuk dan tumbuh suburkan?
Tentu tidak terlepas dari pertimbangan geografis-kosmologis dan sosio-antropologis sekaligus.
Indonesia menjadi negara demokrasi paling plural dengan potensi “perbedaan” terbesar di muka bumi, terdiri dari 1.340 suku dan lebih dari 1.158 bahasa daerah (Suharto, 2019), yang tersebar di hampir semua pulau yang berjumlah tidak kurang dari 17.508 (Suari dkk., 2017).
Potensi perbedaan tersebut menjadi karunia tersendiri sekaligus menjadi potensi konflik yang membahayakan ketika kita sebagai bangsa keliru mengelolanya.
Dalam banyak konteks kehidupan sosial apakah dalam masyarakat organisasi atau dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, menyisakan berbagai catatan penting untuk menjadi bahan renungan kita sebagai sebuah negara bangsa yang majemuk.
Entah mengapa saat ini kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita seperti sangat terkotak-kotak. Perbedaan suku dan lingkungan tempat tinggal bahkan lembaga pendidikan sekalipun sering menjadi sekat-sekat kehidupan bermasyarakat yang kemudian memicu terjadinya konflik yang dalam banyak kasus menimbulkan korban jiwa.
Perbedaan pandangan dan sikap seolah-olah menjadi sesuatu yang haram. Kita sering dipaksa menjadi seseorang yang tidak boleh berbeda.
Padahal ketika kita berada dalam ruang publik atau berada dalam alam demokrasi, perbedaan adalah sebuah keniscayaan dan ianya menjadi ruh demokrasi itu sendiri.