JAKARTA, KOMPAS.com - Kekerasan berbasis gender rupanya dapat mengungkap kekuatan di dalam diri penyintasnya dan menimbulkan keinginan membangun ikatan solidaritas sesama penyintas.
Fenomena ini lah yang ditemukan Purplecode Collective, melalui hasil riset mereka bertajuk “Rekoleksi Persaudarian: Menamai Kekerasan, Merawat Pemulihan Kolektif Cerita dari Sembilan Penyintas Kekerasan Berbasis Gender Online” yang dirilis pada Jumat (21/10/2022).
"Kekerasan yang mereka alami bisa mendorong munculnya solidaritas kolektif sebagai sesama penyintas," ujar Idha Saraswati, salah satu penulis riset ini.
"Upaya mengatasi kekerasan bermacam-macam. Ada upaya kolektif. Misalnya, dilakukan dengan berbagi kisahnya di forum-forum diskusi bertema kekerasan seksual terhadap perempuan, ikut turun ke jalan, termasuk juga seperti keterlibatan rekan-rekan penelitian (penyintas) di penelitian ini untuk berbagi kisah agar perempuan lain tidak mengalami hal yang mereka alami," katanya lagi.
Baca juga: Melalui Webinar, Puspeka Ajak Masyarakat Cari Cara Cegah Kekerasan Gender
Idha mengatakan, riset ini diharapkan dapat meneruskan semangat tersebut, selain menggali apa itu kekerasan berbasis gender online dan dampaknya dari sudut pandang penyintas.
Di samping itu, riset ini juga dilatarbelakangi oleh terus meningkatnya laporan kekerasan berbasis gender online (KBGO) kepada Komnas Perempuan sejak 2020.
Idha melanjutkan, ide menggagas penelitian ini juga muncul karena sejauh pengamatan mereka belum ada penelitian yang memadai tentang kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender di ranah online di Indonesia.
"Terutama kami punya kegelisahan terkait bagaimana sih suara dari para penyintas, apakah para penyintas sudah mendapatkan dukungan dan support system yang memadai?" katanya.
"Apakah pola dukungan yang ada selama ini sudah mencukupi? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang mendorong kami untuk melakukan penelitian ini," ujar Idha lagi.
Baca juga: Cara Kenali dan Dampingi Orang yang Alami Kekerasan Online
Riset yang dikerjakan sejak 2021 hingga awal 2022 ini menggunakan sudut pandang feminisme dan menjadikan 9 penyintas sebagai rekan penelitian.
Para penyintas yang berasal dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, diminta menulis buku harian dengan poin-poin pertanyaan yang sudah disediakan lalu dipadukan dengan pertanyaan semiterstruktur.
"Kami juga menemukan penyintas ini punya kekuatan luar biasa yang kerap tidak disadari penyintas dan pendamping. Kita kerap luput penyintas punya kekuatan dan determinasi yang luar biasa untuk bersiasat dengan kekerasan yang dialaminya walau jalurnya naik turun dan berliku-liku," kata Idha.
Riset ini juga menemukan bahwa menyadari adanya kekerasan menjadi titik mula bagi penyintas memahami situasi yang mereka hadapi. Meskipun, setiap penyintas punya "rute" masing-masing dalam berjuang menghadapi traumanya.
"Kami berharap penelitian ini bisa memberi kontribusi sedikit atau banyak kepada semua pihak yang punya concern terhadap kekerasan berbasis gender online, baik dalam menangani kasus, menemani korban, atau merumuskan kebijakan yang lebih berperspektif kepada korban," ujar Idha.
Baca juga: Apakah Kita Jadi Korban Kekerasan Online? Ini Cara Memastikannya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.