SEJAK kasus Ferdy Sambo bergulir ke ruang publik, kepolisian menjadi sorotan dan menyedot perhatian publik. Penanganan kasus pembunuhan Brigadir J yang meskipun on the track, tetap dinilai publik sesuai perspektif dan keinginan.
Ruang publik sebagai medium ekspresi demokrasi memungkinkan kepolisian ‘dikuliahi’ oleh masyarakat. Pada saat yang sama kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian tergerus.
Tergerusnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi ternyata telah meng-Indonesia. Dari pusat hingga pelosok lokalitas negeri ini, Ferdy Sambo dianggap sebagai simbol kejahatan kepolisian. Tidak mengherankan muncul idiom ‘Sambo’.
Di NTT tempat saya tinggal dan mungkin juga di daerah lain, warga sering berteriak ‘Sambo’ ketika melihat aparat kepolisian.
Di beberapa tempat, teriakan ‘Sambo’ dinilai bersentuhan dengan wilayah hukum karena teridentifikasi penggaran UU ITE dan sebagainya. Akibatnya warga berurusan panjang dengan aparat kepolisian.
Sebagai contoh, seorang wanita bernama Sumiarti Masry di Kabupaten Sikka, NTT, terpaksa diamankan oleh Polres Sikka karena unggahan di media sosial facebook yang menyebutkan warga Ferdy Sambo memang meresahkan (Mediaindonesia.com).
Ada juga warga Pekanbaru yang diciduk karena membuat konten tik-tok tentang Sambo dalam kaitannya dengan perjudian (Kompas.com).
Sementara yang terbaru dan terheboh adalah berita yang dimuat oleh Kompas.com (30/09), sejumlah mahasiswa calon biarawan Katolik, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero diinterogasi oleh aparat Kepolisian Resor (Polres) Sikka karena diduga meneriakkan kata "Sambo".
Menurut polisi, para mahasiswa yang adalah frater itu meneriaki kata ‘Sambo’ dari dalam truk saat mereka hendak berbelanja keperluan dapur di Pasar Tingkat Maumere.
Polisi kemudian menginterogasi para frater, tetapi mereka bersikeras tidak melakukan hal tersebut.
Namun, polisi tidak menerima penjelasan mereka dan memaksa para frater untuk jujur, bahkan dengan menyuruh membuat sumpah.
Terdorong oleh ketidakpuasan atas jawaban para frater, polisi memutuskan untuk mengawal truk itu menuju Ledalero dan menemui pimpinan para frater di Seminari Tinggi Ledalero.
Tulisan ini tidak hendak membahas secara detail persoalan tersebut memasuki wilayah hukum. Intensi tulisan ini adalah refleksi terhadap kekuasaan dan demokrasi dalam kaitannya dengan kasus tersebut.
Interogasi yang dilakukan oleh polisi terhadap mahasiswa calon imam IFTK Ledalero sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Peristiwa semacam ini adalah kejadian kesekian kalinya di NTT yang memberikan kesan kuat bahwa polisi memainkan cara represif ketika berhadapan dengan masyarakat.
Bagi kami masyarakat NTT, kekerasan atas nama oknum polisi sudah kami rasakan beberapa tahun terakhir dan semakin menjadi-jadi tahun ini.
Pada 27 Maret 2018, Ferdinandus Taruk ditembak mati oleh Bripda Vinsensius Pontianus Dhae (24) dari Unit Sabhara Polres Manggarai.
Pemuda 24 tahun asal Kelurahan Karot, Kecamatan Langke Rembong itu ditembak pada tengah malam, saat sedang asyik bercengkerama dengan rekan-rekannya di Sondeng, padahal ia tidak melakukan kesalahan apapun. Pelaku dihukum ringan penjara 1,5 tahun.
Pada tahun yang sama, penembakan oleh polisi juga terjadi di Sumba Barat. Poro Duka (45), warga Desa Patiala Bawa ditembak oleh polisi saat PT Sutra Maronis, perusahaan yang bergerak di bidang perhotelan, secara sepihak melakukan pengukuran tanah adat.
Masih di Sumba Barat, pada 9 Desember 2021, di Polsek Katikutana, seorang polisi menganiaya tahanan bernama Arkin hingga tewas.
Sebelumnya korban ditangkap karena diduga mencuri ternak. Korban mengalami memar pada wajah dan tangan, hidung mengeluarkan darah, tangan kiri patah dan mirip luka tembakan.
Setelah kasus Ferdy Sambo berhembus ke publik, pada 1 Agustus 2022, seorang oknum polisi memukul dan menangkap pelaku wisata yang menggelar aksi mogok menentang komersialisasi dan monopoli bisnis di Taman Nasional Komodo, Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
September 2022, juga menyimpan memori kriminal oknum polisi di NTT. GYL, pemuda 18 tahun ditembak mati pada 27 September, oleh anggota polisi di Polres Belu saat hendak ditangkap sebagai tersangka kasus pengeroyokan seorang sopir truk.
Dalam skala nasional, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), pada 2020, melaporkan data bahwa terdapat 304 korban tewas dan 1.627 luka-luka dalam 921 insiden kekerasan oleh polisi.