“Di sana gunung di sini gunung di tengah-tengah pulau Jawa, Dalangnya bingung, pemainnya juga bingung yang penting penonton bisa ketawa”.
Kalimat itu adalah sepenggal opening dari cerita komedi Opera Van Java yang hits beberapa tahun lalu.
Bagi para komedian terkadang tragedi adalah sumber potensial untuk menarik penonton tertawa.
Lawakan, sarkasme, dan tingkah lucu ada bungkusan komedi ajaib yang tidak semua orang bisa menampilkannya dalam sekali pentas. Butuh kecerdasan dan koneksi yang baik antara pemain untuk menceritakan kisah lawas bergenre komedi.
Anehnya, para lakon tidak menambal pengetahuan komedi dari bangku-bangku kelas, melainkan didasarkan pada pengalaman hidup yang keras.
Kontestasi politik nasional kita hari ini menjadi bahan ‘ngerumpi’ menarik bagi berbagai kalangan. Tidak pandang umur dan pengalaman, warga negara kita perlahan melek politik.
Artinya, secara tidak langsung pentas politik Nasional memainkan peran penting dalam usaha menyadarkan warga negara sebagai otoritas tertinggi.
Kita tengok saja perdebatan-perdebatan politisi yang sering menyebutkan kata “rakyat” sebagai basis agurmentasi keberpihakan.
Padahal secara kritis kita tahu bahwa politisi sedang memainkan peran untuk mencari simpati. Karena memang, tanpa pencitraan dan pengakuan publik, politisi hanyaah sebuah ambisi bagi para pencari suaka demokrasi.
Tetapi begitulah kontes poltik kita hari ini, ibarat lawak OVJ. Kita tahu akhir cerita itu, tetapi kita menikmati suasana lawak dan penertrasi komedi-komedi setiap lakon.
Sama halnya dengan komedi, butuh pancingan agar lawakan bisa menarik. Begitu juga dengan panasnya arus demokrasi yang tidak terlepas dari pancingan-pancingan menuju Pemilu 2024. Mesin partai perlahan tapi pasti mulai bergerak.
Pekerja-pekerja partai dari level elite sampai simpatisan merapatkan barisan untuk mencari simpati.
Apa lagi kebijakan presidential threshold membuat partai politik makin pusing dan bekerja ekstra untuk dapat mengikuti pemilu 2024 dan mengusung ketua partainya atau tokoh yang dianggap mampu oleh partai itu.
Tentu drama dan cerita politik sedang diputar untuk mengocok perhatian publik, agar partai dan tokoh mendapat simpati. Dinamika ini telah menjadi santapan hari-hari bagi masyarakat kita. Ibarat menonton OVJ sambil mengucah kacang goreng.
Istilah “turun gunung” yang di lakoni oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi salah satu contoh dari fenomena politik suksesi politisi menuju 2024.