PENCOPOTAN Aswanto dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Konstitusi (MK) mengejutkan kita semua. Aswanto yang seharusnya menjabat hingga tahun 2029 tiba-tiba dicopot dari jabatannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dia digantikan Guntur Hamzah yang merupakan Sekretaris Jenderal MK. Keputusan mengangkat Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi baru itu disetujui oleh lima fraksi di Komisi III DPR.
Keputusan itu merupakan tindak lanjut atas surat MK yang mengonfirmasi perihal kelanjutan masa jabatan tiga hakim konstitusi usulan DPR yakni, Arief Hidayat, Aswanto, dan Wahidudin Adams.
Baca juga: Aswanto Mendadak Diberhentikan dari Hakim MK, Komisi III: Dia Wakil DPR, tapi Produk DPR Dia Anulir
Problem utama keputusan ini adalah alasan yang melatarbelakangi pencopotan Aswanto.
Kompas.com (30/9/2022) melaporkan, Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, menyebut kinerja Aswanto mengecewakan. Menurut dia, Aswanto terlalu banyak membatalkan produk legislasi DPR. Itu sebabnya Aswanto dicopot dari jabatannya.
Bambang Wuryanto juga menganalogikan hubungan antara hakim konstitusi dan DPR seperti hubungan antara direksi perusahaan dan pemilik perusahaan. Selaku pemilik perusahaan, DPR berhak mengendalikan hakim MK.
Sementara, selaku bawahan DPR, putusan MK harus selalu sesuai dengan kebijakan pemilik perusahaan. Tidak boleh ada putusan yang diambil wakil DPR di MK yang bertentangan dengan kebijakan DPR. Begitu kira-kira logikanya.
Bila ditarik ke belakang, selaku orang yang diusulkan DPR untuk mengisi jabatan hakim konstitusi, Aswanto memang kerap menentang produk legislasi DPR. Hampir di setiap Putusan MK, Aswanto termasuk hakim konstitusi yang menyatakan bahwa produk legislasi DPR (undang-undang) bertentangan dengan konstitusi.
Salah satu yang paling menyita perhatian adalah sikap Aswanto terhadap UU Cipta Kerja. Di antara 8 hakim lainnya, dia termasuk hakim yang menyatakan bahwa undang-undang sapu jagat ini bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat.
Sebuah sikap yang terang benderang bertentangan dengan kebijakan DPR.
Alasan pencopotan itu jelas merupakan logical fallacy (sesat pikir). UUD 1945 mengandung prinsip-prinsip demokrasi checks and balances. Artinya, setiap lembaga negara bekerja saling kontrol dan saling mengawasi satu sama lain.
Tidak ada lembaga yang lebih tinggi atau superior atas lembaga lainnya. Semua lembaga berdiri sejajar, sama rata.
Pasca-reformasi, salah satu alasan dibentuknya MK adalah dalam rangka mengawasi produk-produk legislasi DPR, DPD, dan Presiden selaku pembentuk undang-undang. Pengawasan ini dilakukan agar produk legislasi ketiga lembaga tersebut sejalan dengan semangat dan pasal-pasal konstitusi.
Baca juga: Tiba-tiba, DPR Sahkan Sekjen MK Guntur Hamzah Jadi Hakim Konstitusi Gantikan Aswanto
Aturan itu sangat tegas dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 itu berbunyi: "Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum."
Karena itu, jika produk legislasi DPR banyak yang dibatalkan MK, harusnya bukan hakim konstitusi yang dievaluasi, apalagi sampai dicopot jabatannya.
Sebaliknya, kondisi ini seharusnya membuat DPR mawas diri. Jangan-jangan terlalu banyak kepentingan dalam produk legislasi mereka sehingga MK membatalkannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.