JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum Universitas Al Azhar Indonesia Suparji Ahmad berpandangan, secara yuridis, Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset penting untuk dibahas.
Pasalnya, ia menilai instrumen-instrumen hukum yang ada sekarang ini baik Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU tindak pidana korupsi, UU Tindak Pidana Pencucian Uang belum sepenuhnya mampu merampas aset para koruptor.
"Jadi secara yuridis, memang ada alasan yang cukup urgen untuk dibahasnya RUU perampasan aset ini," kata Suparji dalam diskusi media di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Suparji menjelaskan, ketika berbicara soal korupsi, maka akan ada unsur kerugian negara.
Baca juga: Baleg: 81 RUU Diusulkan Masuk Prolegnas Prioritas 2023, Salah Satunya Perampasan Aset
Kemudian, ketika berbicara tentang TPPU, harus pula bicara soal predikat lainnya.
"Kalau bicara tentang KUHP ditempatkan sebagai suatu pidana tambahan, itu pun juga belum mampu mengakomodir tentang perampasan aset tersebut," tambah dia.
Selain yuridis, RUU Perampasan Aset juga dinilai penting dari sisi sosiologis.
Ia mengingatkan bahwa selama ini ada kendala-kendala terhadap upaya merampas aset terhadap orang-orang atau pelaku korupsi.
Baca juga: Baleg: 81 RUU Diusulkan Masuk Prolegnas Prioritas 2023, Salah Satunya Perampasan Aset
Menurut dia, masih banyak orang yang terkesan tidak bisa diadili meski sudah melakukan tindak pidana korupsi.
"Misalnya, pelaku korupsi kemudian dia meninggal dunia, bagaimana cara merampasnya. Mengingat yang bersangkutan itu tidak bisa diadili karena sudah meninggal tadi itu," ucap dia.
"Apakah kemudian hartanya begitu saja kemudian dibiarkan. Maka ini menjadi satu hal yang sangat mendesak, untuk kemudian mengambil alih hasil kejahatan tersebut," sambung Suparji.
Lebih lanjut, dia mencontohkan adanya para pelaku kejahatan korupsi juga belum bisa diadili lantaran kabur atau sengaja bersembunyi atau bahkan disembunyikan.
Kemudian, RUU Perampasan Aset juga dinilai penting dari sisi filosofis.
"Saya kira sudah sangat jelas, bahwa ada pergeseran dalam proses penegakan hukum, di mana tidak sekadar mengejar pelaku kejahatan, tetapi juga hasil dari kejahatan itu," beber Suparji.
Menurut dia, penegakan hukum tidak akan dikatakan berhasil apabila hanya sekadar menghukum para pelaku korupsi.