SEBELUMNYA, ijinkan penulis menyampaikan bahwa tulisan ini murni hasil penelaahan dan pandangan pribadi, bukan argumentasi yang mewakili institusi maupun lembaga tertentu.
Penulis berusaha untuk menganalisa fenomena ini dari segi perspektif ilmiah, dan tidak dalam posisi melakukan framing terhadap pihak-pihak tertentu.
Saat ini, kondisi perpolitikan Tanah Air rasanya seperti sepi akan hal-hal yang berbau idealisme ideologi, terutama dari kalangan aktor-aktor politiknya. Padahal, apabila ditinjau secara historis, dari ideologi politik inilah semuanya bermula.
Pascakemerdekaan, berbagai partai politik berusaha menciptakan visi dan misi, strategi jangka panjang, program kerja, serta atribut kader yang akan diusung untuk menghadapi tahun-tahun kontestasi. Saat itu, semuanya berpijak dari ideologi partai masing-masing.
Namun, kini masyarakat sulit menganalisis perbedaan posisi dari masing-masing aktor politik, karena tidak adanya tekanan ataupun niat dari publik akan pentingnya ketegasan ideologi.
Pada akhirnya, tidak ada perbedaan yang signifikan antara program kerja aktor politik satu dengan yang lainnya.
Kaburnya batas ideologis antara aktor-aktor politik masa kini sangatlah nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dalam bukunya yang berjudul Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, almarhum Prof. Firmanzah menyampaikan bahwa apabila ditinjau dari metode kampanye tiap-tiap partai, hampir tidak ada perbedaan yang dapat kita temukan.
Dibanding menonton debat terbuka atau promosi visi dan misi, publik seakan lebih mencintai metode-metode kampanye pengerahan massa seperti pada acara tabligh akbar, parade, konvoi jalanan, serta panggung rakyat dengan diiringi orkes dangdut.
Agaknya metode-metode kampanye seperti ini umum dilakukan oleh semua aktor politik di Indonesia untuk meraih simpati kalangan masyarakat menengah kebawah, baik dari golongan partai nasionalis maupun agamis.
Semakin seragamnya metode-metode kampanye di era masa kini, tidak lepas dari meningkatnya peran kaum-kaum kapitalis sebagai aktor politik.
Dalam buku Anarki Kapitalisme karya Andre Gorz, kapitalis dicirikan bukan semata-mata kepada mereka yang memiliki harta kekayaan dan hidup dari hasil kerja orang lain, tetapi juga diberlakukan bagi para pemilik budak, peminjam uang atau kreditur, maupun tuan-tuan feodal.
Dikutip dari hasil studi oleh Vedi Hadiz berjudul Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto, peran pengusaha sejak era orde baru banyak digunakan sebagai supporting system dalam pelanggengan kekuasaan, di mana mereka dianggap memiliki relasi ekonomi dan politik yang sangat luas.
Dalam tulisan tersebut, berbagai pengusaha yang tergabung dalam oligarki politik di era pemerintahan orde baru mempunyai peranan penting dalam menggerakan ekonomi negara dan membiayai modal kampanye.
Tidak dapat dipungkiri, kekuatan finansial menjadi salah satu penentu untuk bersaing dalam merebut kekuasaan di legislatif, yang selanjutnya menjadi bargaining point bagi penempatan orang-orang di dalamnya.