JAKARTA, KOMPAS.com - Bentuk hukuman bagi sejumlah anggota TNI yang terlibat kasus mutilasi disertai perampokan di Mimika, Papua, diharap bisa maksimal jika kasus mereka dibawa ke pengadilan militer.
Akan tetapi, berkaca dari beberapa kasus kekerasan lain yang dilakukan atau melibatkan anggota TNI, hukuman yang diberikan cenderung kurang maksimal.
"Sebab selama ini ada kecenderungan oknum anggota militer yang terlibat kekerasan hanya diadili di peradilan militer dengan hukuman yang tidak maksimal," kata Ketua badan pengurus Centra Initiative dan Peneliti Senior Imparsial, Al Araf, saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/9/2022).
Baca juga: Jasad Korban Mutilasi di Mimika Kembali Ditemukan, Tim Forensik Didatangkan dari Jayapura
Menurut Al Araf, proses peradilan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana memang hanya dilakukan melalui pengadilan militer.
Ketentuan itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Al Araf menilai hukuman yang diterapkan di pengadilan militer bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana dinilai kurang memberikan efek jera.
"Akhirnya tidak terdapat efek jera sehingga memberi dampak tidak langsung terhadap terjadinya kejadian kekerasan oleh oknum anggota militer yang lain," ujar Al Araf.
Al Araf menilai dari kejadian ini sudah seharusnya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera melakukan reformasi peradilan militer melalui revisi UU 31 tahun 1997.
Dia juga berharap perbuatan pidana yang dilakukan oleh anggota TNI adalah tindakan yang harus diproses secara hukum.
"Persoalan kekerasan itu sudah seharusnya dibawa ke dalam proses peradilan yang objektif, akuntabel dan transparan," kata Al Araf.
Baca juga: Soal Kasus Mutilasi di Mimika, Jokowi: Usut Tuntas
Aturan tentang tindak pidana bagi anggota TNI tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM).
Pada praktiknya, ketentuan yang digunakan bagi anggota TNI yang melakukan tindak pidana selama dikategorikan sebagai tindak pidana umum, tetap menggunakan aturan yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Akan tetapi, proses peradilannya tetap dilakukan melalui Pengadilan Militer.
Secara terpisah, menurut Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, sampai saat ini anggota TNI AD yang diduga terlibat dalam pembunuhan disertai mutilasi serta perampokan bertambah menjadi 8 orang.
Kedua oknum lain dari TNI AD itu diduga ikut menerima uang rampasan Rp 250 juta milik para korban.