JIKA tak ada aral melintang, akhir Agustus ini saya berangkat menuju Magelang. Ini salah satu kegiatan perlindungan anak yang saya lakukan dan “dilepas” banyak pihak dengan berbagai umpatan.
Kecaman beramburan terkait narasi saya tentang pemberian perlindungan khusus bagi anak-anak FS dan PC, dua pelaku utama dalam tragedi Duren Tiga Berdarah.
Ini hanya satu dari sekian banyak aktivitas Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) yang dinilai negatif oleh sejumlah kalangan.
Beberapa tahun lalu, serbuan kritik tajam juga saya terima saat mengunjungi kediaman Habib Rizieq Shihab pascakejadian km 50.
Kunjungan itu saya lakukan guna melihat langsung kondisi cucu-cucu Habib Rizieq Shihab yang dikabarkan juga berada di salah satu kendaraan saat pihak kepolisian melakukan pemantauan terhadap keberadaan Habib Rizieq Shihab.
Berlanjut ke sekian tahun sebelumnya, pandangan miring juga diarahkan ke saya setelah saya mengunjungi TK yang didirikan oleh terduga teroris, almarhum Siyono, di Klaten.
Menerima kabar bahwa operasi Densus 88 berlangsung keras di hadapan anak-anak di TK tersebut, sulit bagi saya untuk tutup mata terhadap kemungkinan anak-anak itu ikut terdampak akibat operasi tersebut.
Tiga ilustrasi kasus di atas, tentu, tidak saya maksudkan sebagai kisah heroik. Semata-mata sebagai ekspresi kepedulian saya pada nasib anak-anak yang bisa dikatakan tak sungguh-sungguh berada dalam jangkauan undang-undang.
Terhadap anak-anak dengan status korban, UU Perlindungan Anak memuat rincian pengaturannya dalam sekian banyak pasal. Terhadap anak-anak sebagai pelaku, tersedia UU Sistem Peradilan Pidana Anak.
Namun terhadap anak-anak dari terduga, tersangka, atau pun pelaku pidana, tidak atau belum tersedia UU khusus.
Pada satu sisi, wujud kepedulian memang tidak harus dituangkan ke dalam UU khusus (lex specialis). Tapi pada sisi lain, imbasnya adalah seolah anak-anak dari pelaku pidana boleh diabaikan begitu saja. Penyikapan sedemikian rupa jelas harus dikoreksi.
Walaupun yang bermasalah dengan hukum dan masuk ke penjara adalah orangtua mereka, namun anak-anak dari para narapidana itu sangat mungkin mengalami penderitaan yang tidak ringan.
Kehidupan mereka seakan ikut terpenjara. Raga memang bebas, namun batin mereka terkungkung dalam jeruji yang tidak kasat mata.
Kondisi anak-anak yang ikut sengsara seiring pemenjaraan yang ditimpakan ke orangtua mereka, diistilahkan sebagai pemenjaraan sekunder (secondary prisonization).
Berapa banyak anak-anak Indonesia yang orangtuanya saat ini menjalani hukuman badan di dalam penjara, saya tidak memiliki data mutakhir tentang itu.