JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, Ferdy Sambo sempat menghubungi berbagai pihak pasca-kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J.
Hal itu dilakukan agar konstruksi yang dibuat Sambo terkait tewasnya Brigadir J bisa dipercaya.
“Pak Sambo itu membuat pra-kondisi agar orang percaya bahwa di situ terjadi tembak-menembak dan yang menembak, membunuh itu Bharada E,” papar Mahfud kepada wartawan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Baca juga: Penjelasan Mahfud MD soal Kasus Ferdy Sambo: Motif Pembunuhan hingga Kerajaan Sambo
Adapun kehadiran Mahfud untuk memenuhi panggilan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Ia menjelaskan, MKD meminta informasi soal dugaan adanya anggota DPR yang turut dihubungi Sambo terkait perkara tersebut.
Namun, Mahfud enggan membeberkan nama anggota DPR itu karena ia belum mendapatkan klarifikasi dari pihak yang bersangkutan.
“Karena memang dihubungi tidak diangkat, kedua, karena ini bukan tindak pidana,” sebutnya.
“Kenapa harus dipaksa untuk menjelaskan siapa, mungkin yang dihubungi ada ratusan orang agar percaya kan tidak apa-apa, yang penting tidak menggunakan jawabannya,” ujar dia.
Baca juga: Sidang Etik Ferdy Sambo, Bhadara E Bersaksi secara Daring
Mahfud mengungkapkan, Sambo dan jaringannya memang menghubungi sejumlah pihak, seperti Komisi Kepolisian Nasional dan pemimpin redaksi media massa.
“Dihubungi itu, satu Kompolnas, kedua Komnas HAM, ketiga beberapa pemimpin redaksi yang sudah saya hubungi dan benar,” tandasnya.
Diketahui bahwa saat ini Sambo tengah menjalani sidang komisi etik Polri untuk menentukan statusnya sebagai anggota Korps Bhayangkara.
Pasalnya, Sambo telah dinyatakan menjadi tersangka dalam perkara ini.
Baca juga: Surat Ferdy Sambo, Menyesal, Memohon Maaf, dan Siap Bertanggung Jawab
Ia diduga menyusun rencana pembunuhan dan memerintahkan Bharada Richard Eliezer atau Bharada E untuk menembak Brigadir J.
Sambo dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Ancaman pidana maksimalnya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.