TAK bisa dipungkiri bahwa beberapa tahun belakangan, kita cukup khawatir dengan persoalan kebangsaan kita.
Terkadang dengan mudah rasa itu bisa menipis, hanya karena tetek bengek politik yang sepele. Begitu mudah cacian, makian, hinaan, fitnah dan rasa permusuhan yang kental dipertunjukkan di ruang publik.
Padahal, hal-hal semacam itu justru makin memperlihatkan betapa rentannya kita sebagai sebuah negara bangsa di mata khalayak internasional.
Originalitas keramahan dan persaudaraan yang telah menjadi ciri khas ketimuran kita seolah meleleh begitu saja saat dihadapkan dengan misi dan perjuangan jangka pendek sekelas pemilihan presiden, sejak 2014 lalu, misalnya.
Nampaknya kita terlalu riang dengan perkembangan kekinian, terlalu yakin dengan monopoli-monopoli atas kavling-kavling mimpi yang akan kita bangun di hari depan, sehingga kita jarang melihat ke belakang, jarang bercengkrama dengan sejarah bangsa kita sendiri.
Sehingga yang terjadi hari ini, pertunjukan-petunjukan keegoisan kelompok masing-masing, pertunjukan watak keras kepala masif dari masing-masing kelompok yang berbeda kepentingan politik, memperlihatkan betapa deret umur dari tubuh sosial politik Indonesia masih sangatlah pendek.
Padahal negara bangsa yang kita cintai ini, telah melalui perjuangan yang sangat solid dan membanggakan dari pendahulu-pendahulu kita. Bahkan tak jarang menjadi sumber yang membuat penasaran banyak ilmuwan luar negeri.
Karena itu, saya sangat memahami mengapa Presiden Jokowi menekankan pentingnya persatuan di dalam pidato kenegaraan sidang tahunan MPR 2022 di hadapan anggota MPR/DPR pada tanggal 16 Agustus 2022 lalu.
"Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa. Konsolidasi nasional harus diperkuat," begitu ucap beliau di salah satu paragraf jelang akhir pidatonya.
Dengan kata lain, toleransi adalah prasyarat utama bangunan kebangsaan dan nasionalisme kita, di mana pun di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.
Spirit ini tidak saja harus terus ditanamkan dan dipupuk, tapi juga harus didukung dan diupayakan dengan berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari pusat hingga ke daerah.
Selama ini, yang paling menonjol adalah masalah semakin rentannya stabilitas toleransi beragama.
Bahkan yang lebih memilukan, membahayakan adalah saat bangunan psikologi atas toleransi yang telah bersemayam lama dalam jiwa-jiwa masyarakat Indonesia, digiring terus-menerus oleh para oknum elite di berbagai level ke arah intoleransi dan permusuhan.
Jika hal itu tidak dicegah, maka akan sangat rawan memengaruhi anak-anak muda.
Sinyal mengkhawatirkan tersebut telah terlihat. Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta melalui program Media and Religious Trends in Indonesia (MERIT Indonesia) pada 2021 yang melakukan survei nasional untuk mengetahui fenomena sesungguhnya bagaimana konservatisme milenial beragama.