JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia turut melobi negara-negara lain untuk menyumbang dana hibah bagi pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons (PPR) pandemi melalui lembaga Dana Perantara Keuangan (Financial Intermediary Fund/FIF).
"Lobi-lobi" penggalangan dana ini dilakukan melalui rangkaian diplomasi G20 bersama negara-negara dan organisasi maupun lembaga internasional lain yang sudah berkomitmen menyumbangkan dana lewat FIF.
"Tentunya upaya untuk penggalangan dana ini terus akan kita lakukan, bukan hanya di antara negara G20 tapi juga pada organisasi yang bisa menjadi mitra potensial untuk pendanaan FIF," kata Juru Bicara Indonesia untuk G20, Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers update Health Working Group G20 Ketiga di Jakarta, Kamis (18/8/2022).
Baca juga: Presiden Ukraina Disebut Bakal Hadiri KTT G20 jika Putin Datang, Ini Kata Kemenlu
Nadia mengatakan, sejumlah negara G20 memang belum menyampaikan komitmennya untuk turut berkontribusi dalam dana patungan ini.
Indonesia sendiri sudah menyumbang 50 juta dollar AS dalam lembaga pengumpul dana darurat tersebut.
Selain Indonesia, beberapa negara yang sudah berkontribusi yakni Amerika Serikat sebesar 450 juta dollar AS, Uni Eropa, Jerman, Singapura, Inggris, Wellcome Trust, Bill and Melinda Gates Foundation, Italia, Tiongkok, Uni Emirat Arab, Jepang, dan Korea Selatan.
Hingga kini, jumlah dana yang terkumpul mencapai 1,28 miliar dollar AS dari target 12,5 miliar dollar AS dalam lima tahun ke depan.
"Kita berharap komitmen selama lima tahun bisa mencapai 12,5 miliar dollar AS, yang artinya komitmen ini akan secara bertahap bisa dimanfaatkan dan bisa digunakan untuk negara-negara dalam rangka pencegahan maupun penanganan pandemi ke depannya," ujar dia.
Baca juga: Ketua Komisi I Nilai Konflik Rusia-Ukraina Sensitif dan Politis bagi Presidensi G20 Indonesia
Terkait prioritas penggunaan dana tersebut, menurut dia, semua negara masih menggodok alokasinya.
Hal yang jelas, tujuan pembentukan FIF menyasar pada negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower middle income countries) alih-alih negara berpenghasilan tinggi (high income country).
Menurut Nadia, pembentukan FIF terasa penting lantaran belum ada lembaga keuangan khusus yang permanen untuk penanganan pandemi, seperti Global Fund untuk pengendalian HIV/AIDS, TBC, dan malaria di dunia.
Selama ini, dana penanganan pandemi hanya dialokasikan ketika pandemi menyebar.
Tak heran, dana tersebut tidak berkesinambungan untuk pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi di masa depan.
"Kalaupun ada (lembaga serupa), itu sifatnya ad hoc (tidak permanen) dan nanti setelah pandemi selesai, tidak ada kesinambungannya," tutur Nadia.
"Kita lihat pada saat awal (pandemi Covid-19) dengan tidak adanya suatu badan permanen, kelincahannya untuk merespons pandemi itu terlihat kurang. Banyak negara yang kemudian tidak memiliki akses," kata dia.
Baca juga: Indonesia Dorong Kebijakan Penyelesaian Pandemi Covid-19 dalam Presidensi G-20