Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antoni Putra
Peneliti dan Praktisi Hukum

Lulusan Fakultas Hukum Universitas Andalas dan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kini peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Mengapa "Presidential Threshold" Dipertahankan padahal Dinilai Tak Relevan dengan Pemilu Serentak?

Kompas.com - 09/08/2022, 10:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu isu ketatanegaraan yang terus mengemuka sebelum pemilihan umum (pemilu) adalah persoalan aturan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). Keberadaan syarat itu dinilai tidak lagi relevan dengan pemilu serentak, yakni pemilihan presiden dan wakil presiden dan pemilihan anggota legislastif yang dilaksanakan secara serentak di hari yang sama.

Saat ini, ketentuan tentang tersebut terdapat pada Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam UU itu, ambang batas yang mesti dipenuhi partai politik dan/atau gabungan partai politik untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden minimal memiliki 20 persen kursi di DPR atau memiliki perolehan suara nasional 25 persen berdasarkan hasil pemilu legislatif sebelumnya.

Ketentuan ini sudah berulangkali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan pengujian terhadap presidential threshold sudah dilakukan saat pemilu presiden (piplres) masih merujuk pada UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Baca juga: PKS Gugat Presidential Threshold ke MK, meski Ikut Membuat UU Pemilu

Hingga saat ini, dengan merujuk pada catatan rekapitulasi perkara di website MK, ketentuan presidential threshold sudah diuji sebanyak 37 kali. Dalam lima tahun terakhir saja, terdapat 22 perkara yang diputus MK.

Banyaknya permohonan yang diajukan tersebut sejatinya adalah bukti bahwa penerapan presidential threshold bermasalah.

Sayangnya, dari jumlah putusan tersebut, tidak sekalipun MK mengabulkan permohonan yang diajukan. Putusan terakhir adalah putusan Perkara Nomor 52/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Salah satu alasan yang terus dikemukakan dalam mendukung adanya presidential threshold adalah untuk menjaga stabilitas pemerintahan.

Namun alasan ini sesungguhnya tidak masuk akal, sebab tidak ada jaminan partai politik peserta pemilu sebelumnya akan memperoleh suara yang sama di pemilu berikutnya. Misalnya partai politik di pemilu sebelumnya, yakni Pemilu 2019, tidak ada jaminan akan memperoleh suara yang sama di Pemilu 2024. Bahkan tidak ada jaminan partai yang bersangkutan akan memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) empat persen dari jumlah suara sah secara nasional agar dapat memperoleh kursi di DPR sebagaimana ketentuan Pasal 414 UU Pemilu.

Selain itu, keberadaan presidential threshold juga tidak sesuai dengan desain sistem presidensial sebagaimana yang dianut Indonesia. Sebab, presiden mendapatkan mandat langsung dari rakyat karena dipilih melalui pemilu, sehingga cabang kekuasaan legislatif serta yudikatif seharusnya tidak dapat memengaruhi proses pencalonan.

Secara teoritis, penggunaan hasil pemilu legislatif untuk mengisi jabatan eksekutif adalah pola sistem pemerintahan dalam sistem parlementer.

Dari sudut pandang konstitusi, dengan merujuk pada UUD 1945, yakni Pasal 6A ayat (2), secara eksplisit mengatur bahwa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden merupakan hak konstitusional partai politik, tanpa adanya ambang batas sebagaimana yang diterapkan saat ini.

Dalam konteks ini, konstitusi mengatur secara eksplisit atau tegas (expresis verbis), di mana bila kita merujuk pada teori konstitusi, maka hal itu seharunya telah menutup celah untuk menafsirkan secara berbeda dari teks yang ditulis konstitusi itu sendiri, seperti menerapkan adanya ambang batas pencalonan presiden.

Dari segi studi komparasi, dengan melihat praktek di negara lain, misalnya Amerika Serikat yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial atau Timur Leste yang merupakan negara tetangga terdekat Indonesia, kedua negara tersebut sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon presiden.

Baca juga: Uji Materi Presidential Threshold Yusril dan La Nyalla Kandas di MK

Dalam konteks Timur Leste, negara tersebut memiliki 16 calon presiden pada Pemilu yang dilakukan pada awal tahun ini, padahal negara itu hanya memiliki jumlah penduduk sekitar 1,4 juta jiwa. Kontras dengan Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 270 juta jiwa.

Mempersempit ruang gerak masyarakat

Mempertahankan presidential threshold hanya akan berdampak pada memburuknya sistem demokrasi. Hal itu terjadi karena persyaratan tersebut menutup peluang adanya pilihan calon presiden yang beragam bagi masyarakat. MK sebagai penjaga konstitusi justru mengamini hal tersebut dengan terus menolak permohonan judicial review yang diajukan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Prabowo Presiden Terpilih, AHY: Kami Imbau Semua Terima Hasil, Semangat Rekonsiliasi

Nasional
Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Prabowo: Jangan Jadi Pemimpin kalau Tak Kuat Diserang, Duduk di Rumah Nonton TV Saja

Nasional
Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Dewas Akan Sidangkan Dugaan Pelanggaran Etik Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron 2 Mei

Nasional
Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Prabowo-Gibran Tiba di Istana untuk Bertemu Jokowi

Nasional
AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum 'Clear', Masih Dihuni Warga

AHY Sebut Lahan 2.086 Hektare di IKN Belum "Clear", Masih Dihuni Warga

Nasional
Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Tak Persoalkan PKB Ingin Kerja Sama dengan Prabowo, PKS: Kita Enggak Jauh-jauh

Nasional
Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Bapanas Prediksi Harga Bawang Merah Normal 30-40 Hari ke Depan

Nasional
PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

PKS Jajaki Komunikasi dengan Prabowo

Nasional
Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Dewas Harap Wakil Ketua KPK Laporkan Albertina Ho Bukan karena Sedang Tersangkut Kasus Etik

Nasional
Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Wapres Ma'ruf Amin Tak Titip Program Tertentu untuk Dilanjutkan Gibran

Nasional
Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Gibran Minta Petuah Saat Sowan ke Wapres Ma'fuf Amin

Nasional
Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Tantang PDI-P Tarik Semua Menteri Usai Sebut Jokowi Bukan Kader Lagi, TKN: Daripada Capek-capek PTUN

Nasional
Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Relaksasi HET Beras Premium Diperpanjang hingga 31 Mei 2024

Nasional
Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Gibran Disebut Masih Fokus di Solo, Undang Wapres Ma'ruf Resmikan Destinasi Wisata

Nasional
Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Dewas Ungkap Klarifikasi Albertina Ho yang Dilaporkan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com