JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami dugaan adanya penggunaan perusahaan tertentu oleh Direktur PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh atau John Irfan Kenway yang digunakan dalam pengadaan helikopter angkut Augusta Westland (AW)-101 di TNI AU tahun 2016-2017.
Pendalaman penggunaan perusahaan palsu itu dilakukan penyidik melalui pemeriksaan Staf Technical Support PT Diratama Jaya Mandiri 2013-2017 Adhitya Tirtakusumah, dan dua pihak swasta, Raina Abednego dan Bennyanto Sutjiadji. Ketiga saksi itu diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (5/8/2022).
“Ketiga saksi dikonfirmasi terkait dengan dugaan adanya penggunaan perusahaan tertentu oleh tersangka IKS (Irfan Kurnia Saleh) untuk dijadikan seolah-olah sebagai rekanan dalam pengadaan helikopter angkut AW-101 di TNI AU tahun 2016-2017,” ujar Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Jumat (5/8/2022).
Baca juga: KPK Panggil 8 Perwira TNI AU dalam Kasus Korupsi Helikopter AW-101
Adapun Irfan merupakan pihak swasta yang ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam kasus dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 di lingkungan TNI Angkatan Udara.
Dalam kasus ini, Irfan diduga telah merugikan negara sebesar Rp 224 miliar dari nilai kontrak Rp 738, 9 miliar akibat pengadaan helikopter angkut tersebut.
Atas perbuatannya Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Seperti diketahui, tidak ada penyelenggara negara yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Ketua KPK Firli Bahuri menjelaskan, lembaganya dapat menangani siapa pun pihak yang terlibat kasus korupsi berdasarkan aturan Undang-Undang tentang KPK.
Berdasarkan aturan Pasal 11 Undang-Undang nomor 19 tahun 2019, KPK dapat mengusut kasus korupsi dengan subyek hukum penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.
Akan tetapi, Pasal tersebut bukan kumulatif.
Menurut Firli, penjelasan Pasal UU KPK itu juga menyebutkan bahwa KPK dapat menjerat siapa pun pihak yang diduga menyebabkan terjadinya kerugian negara.
"KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Ada syaratnya dua, aparat penegak hukum atau penyelenggara negara atau pihak terkait, Oke, di kalimat berikutnya ada 'dan atau titik koma', menimbulkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 1 miliar di Ayat 2 nya," terang Firli dalam konferensi pers, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
"Itu di Undang-Undang Nomor 19 tahun 2019. Kalau bicara dan atau, tentulah kawan-kawan sudah paham itu bukan kumulatif, boleh alternatif ya," ucapnya.
Sebelumnya, pihak TNI telah menetapkan lima tersangka yang berlatar belakang militer terkait pengadaan helikopter angkut AW-101 ini.
Mereka adalah Kepala Unit Pelayanan Pengadaan Kolonel Kal FTS SE, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa Marsekal Madya TNI FA, dan pejabat pemegang kas Letkol administrasi WW.
Baca juga: KPK Periksa 7 Perwira TNI AU Terkait Teknis Pembelian AW-101
Kemudian, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Selain itu, staf pejabat pemegang kas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu, yakni Pelda (Pembantu Letnan Dua) SS dan asisten perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara Marsda TNI SB.
Dalam perkembangannya, penyidikan kasus pengadaan helikopter AW-101 untuk tersangka dari TNI dihentikan oleh Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.