KOMPAS.com – Dalam sistem hukum acara perdata, gugatan tidak hanya dapat diajukan oleh individu. Gugatan juga bisa diajukan oleh sekelompok orang yang merasa kepentingannya dilanggar.
Gugatan ini disebut dengan class action.
Salah satu aturan mengenai gugatan class action adalah Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Dalam peraturan ini, class action disebut dengan gugatan perwakilan kelompok.
Merujuk pada Perma tersebut, gugatan perwakilan kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, di mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
Class action dapat dilakukan terhadap perkara perdata yang dialami oleh sekelompok orang yang memiliki kerugian dan kesamaan fakta hukum untuk diajukan bersama melalui perwakilannya di pengadilan.
Baca juga: Gugatan Class Action: Pengertian, Tujuan, Unsur, dan Dasar Hukumnya
Salah satu contoh class action adalah gugatan yang diajukan sebagian warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 2016.
Gugatan ini diajukan terkait penggusuran paksa yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta terhadap warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung pada 28 September 2016.
Warga menilai normalisasi sungai tersebut tidak memiliki dasar hukum sehingga tidak bisa dilanjutkan.
Dalam perkara ini, warga mengajukan gugatan terhadap sejumlah pihak dari Pemprov DKI Jakarta, termasuk gubernur dan kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC). Warga menuntut ganti rugi hingga Rp 1,07 triliun.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat kemudian memenangkan gugatan class action yang diajukan warga Bukit Duri melalui sidang putusan yang dibacakan pada 25 Oktober 2017.
Dalam amar putusannya, hakim menyatakan penggusuran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta telah melanggar hak asasi manusia.
Pemerintah dinyatakan sewenang-wenang karena menggusur warga penggugat tanpa musyawarah dan ganti rugi yang berkeadilan.
Atas pertimbangan itu, warga pun dinyatakan berhak menerima ganti rugi sebesar Rp 200 juta kepada setiap anggota kelompok dan perwakilan kelompok penggugat, atau totalnya sekitar Rp 18,6 miliar.
Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Pusat dan kembali memenangkan warga.