JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang bakal disahkan berpotensi melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, 14 isu yang sempat dibahas pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu tidak memasukkan Pasal antikorupsi.
"Jika dilihat dari pernyataan pemerintah, pembentuk Undang-Undang tidak memasukkan klausula pasal antikorupsi dalam 14 isu krusial," ujar Kurnia melalui catatan kritis ICW terkait isu pemberantasan korupsi dalam RKUHP, Selasa (2/8/2022).
Baca juga: Mahfud: Presiden Minta 14 Masalah dalam RKUHP Diperhatikan Betul
"Padahal, substansi aturan antikorupsi masih dipenuhi dengan sejumlah persoalan," ucap pegiat antikorupsi itu.
Kurnia berpendapat, tim perumus RKUHP juga tidak konsisten.
Pasalnya, Edward Omar Sharif Hiariej sebelum menduduki jabatan sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM sempat mengatakan bahwa delik korupsi di RKUHP hanya sebagai core crime dan sekadar bridging article.
Secara sederhana, kata dia, hal itu mengartikan bahwa RKUHP hanya mendefinisikan perbuatan korupsi, tanpa melampirkan usulan perubahan pemidanaan.
"Namun yang terjadi justru sebaliknya. Draf yang ada berpotensi mendegradasi upaya pemberantasan korupsi," papar Kurnia.
"Alih-alih mendorong efektifitas efek jera bagi pelaku korupsi, melalui RKUHP pemerintah justru kian melemahkannya," ucap dia.
Di luar substansinya, lanjut Kurnia, proses pembahasan RKUHP juga dinilai tertutup karena naskahnya sempat tidak disampaikan kepada masyarakat.
Baca juga: Revisi RKUHP, Jokowi Perintahkan Anak Buah Minta Pendapat dan Usul Masyarakat
Menurutnya, hal itu menjadi wajar jika kemudian muncul prasangka buruk dari masyarakat kepada pembentuk Undang-undang.
"Sebab, praktik serupa juga pernah terjadi dalam pembahasan peraturan perundang-undangan lain, satu di ataranya revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019 lalu," ucap Kurnia.
ICW pun menekankan, jika naskah RKUHP tidak disosialisasikan kepada masyarakat, maka jelas pemerintah dan DPR telah menabrak Undang-Undang dan jauh melenceng dari mandat putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Adapun regulasi yang diabaikan adalah Pasal 96 Ayat (1) Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terkait hak masyarakat untuk memberikan masukan dalam setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Sederhananya, bagaimana masyarakat bisa berpartisipasi jika naskah RKUHP sempat lama sulit diakses? Pada waktu bersamaan, pemerintah dan DPR justru menyepakati bahwa dalam beberapa bulan mendatang RKUHP akan segera diundangkan," ucap Kurnia.