PERISTIWA kematian Brigadir J, ajudan Kadivpropam Polri Irjen Ferdy Sambo, mengejutkan semua pihak, bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Koordinasi Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud MD, lebih dari dua kali menginstruksikan agar dilakukan pengusutan secara transparan dan akutabel.
Harapannya adalah legitimasi dan kredibilitas dalam penegakan hukum membuahkan peningkatan kepercayaan kepada Polri sebagai garda depan dalam penindakan dan pengayoman masyarakat.
Kematian Brigadir J dalam prespektif hak asasi manusia adalah hilangnya hak untuk hidup seseorang.
Jaminan terhadap hak untuk hidup terdapat dalam berbagai instrumen hukum dan hak asasi manusia di antaranya Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Pasal 4 dan 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 6 ayat (1) Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948.
Baca juga: Komnas HAM Dalami Keberadaan Ferdy Sambo Saat Brigadir J Meninggal
Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum dan tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.
Hak untuk hidup ini merupakan hak absolut yang tidak boleh diderogasi (non-derogable rights) bahkan dalam kondisi darurat publik yang mengancam kehidupan bangsa dan tidak dapat ditangguhkan.
Dalam rumpun kategori hak-hak yang tidak dapat ditangguhkan di antaranya adalah hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa.
Terhadap hak yang dikategorikan sebagai non-derogable rights ini secara umum diklasifikasikan sebagai inti dari hak asasi manusia dan puncak dari hirarki dalam hukum internasional.
Bertitik tolak pada argumentasi tersebut maka, sepatutnya kita mendukung dan mendorong agar Kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan atas peristiwa tersebut secara profesional, objektif dan mengendepankan scientific.
Pengungkapan tersebut dan membawa pelaku pada persidangan untuk diadili, tidak saja pada aspek penegakan hukum semata, akan tetapi perwujudan perlindungan hak untuk hidup.
Setidaknya terdapat tiga langkah Kapolri untuk mengungkap kasus tersebut, baik secara langsung berdimensi dalam pokok perkara, maupun menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik.
Pertama, untuk menghindari benturan dan hambataan dalam pengungkapan fakta dan peristiwa secara objektif, maka dua jenderal yang menjabat yakni Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan, Irjen Ferdy Sambo, serta Kepala Biro Pengamanan Internal Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan telah dinonaktivkan dari jabatannya.
Selain itu, Kepala Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, Kombes Budhi Herdi Susianto, yang sejak awal melakukan press confrence atas kasus ini juga posisinya digantikan.
Kedua, pembentukan Tim Khusus yang dipimpin oleh Wakapolri yang berisikan para jenderal dari berbagai unsur dalam struktur kepolisian yakni Inspektur Pengawasan Umum, Kepala Badan Reserse dan Kriminal, Kepala Badan Intel dan Kemanan, serta Asisten Sumber Daya Manusia.
Komposisi tim tersebut mempresentasikan keseriusan Polri untuk mengungkapkan kasusnya dengan mengerahkan seluruh potensi dan sumber daya, termasuk pemeriksaan berbasis scientific evidence.
Baca juga: Mahfud Harap Hasil Otopsi Ulang Jenazah Brigadir J Dibuka Sesuai Arahan Kapolri