Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rino Irlandi
Peneliti

Alumnus Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Tepatkah Pilihan Dasar Hukum Haluan Negara?

Kompas.com - 28/07/2022, 16:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BADAN Pengkajian Majelis Perwakilan Rakyat (MPR) secara resmi telah menyerahkan hasil kajiannya tentang ide menghidupkan kembali haluan negara kepada Pimpinan MPR. Selepas itu, Pimpinan MPR mengundang ketua fraksi partai politik di MPR dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk datang ke Gedung Parlemen. Di gedung ini, mereka menggelar rapat secara terbatas dalam rangka membahas hasil kajian yang telah mereka terima dari Badan Pengkajian MPR. Hasilnya, mereka memutuskan menindaklanjuti hasil kajian Badan Pengkajian MPR dengan membentuk panitia ad hoc.

Selaku Ketua MPR, Bambang Soesatyo menyebut bahwa panitia ad hoc ini dibentuk untuk mencari bentuk hukum apa yang akan dijadikan sumber hukum bagi haluan negara. Ada dua sumber hukum yang akan dikaji; pertama, konvensi ketatanegaraan; dan kedua, undang-undang.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: 42,7 Persen Responden Nilai Amandemen Konstitusi untuk Haluan Negara Tak Mendesak

Dua pilihan itu didasarkan pada hasil kajian Badan Pengkajian MPR yang sudah rampung. Berkenaan dengan itu, tulisan ini akan menguji dua sumber hukum tata negara yang sedang dipertimbangkan sebagai dasar hukum (calon) haluan negara itu. Apakah kedua sumber tersebut merupakan sumber hukum yang tepat?

Tidak tepat

Dalam buku Pengantar Hukum Tata Negara, Harmaily Ibrahim dan Moh. Kurnardi (1983) mengartikan konvensi ketatanegaraan sebagai perbuatan kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang sehingga kemudian diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan. Jadi, karena dilakukan berulang-ulang, bisa dikatakan bahwa konvensi ketatanegaraan adalah hukum kebiasaan.

Hukum kebiasaan, menurut LJ van Apeldoorn (2004) tidak hanya merupakan tindakan yang dilakukan berulang-ulang, tetapi juga diterima masyarakat yang dikenai hukum kebiasaan sehingga menjadi sesuatu yang seakan-akan bersifat wajib, meskipun tidak ada aturan tertulis yang mengatakan demikian. Misalnya, ketika ada seorang teman yang wisuda, kita merasa wajib untuk menyambangi, mengucapkan selamat, dan kadangkala memberikan hadiah meskipun sebenarnya tidak ada aturan baku yang menyatakan hal ini harus kita lakukan. Malahan, kalau hal itu tidak kita lakukan, kita merasa agak aneh dan merasa tidak enak pada kawan tersebut.

Pertanyaannya, mengapa tingkah laku semacam itu tebentuk? Sekali lagi, menurut LJ van Apeldoorn, tingkah laku semacam itu terbentuk bukan hanya karena terus-menerus dilakukan oleh sekelompok masyarakat, tetapi juga diterima dan diyakini benar oleh semua masyarakat yang hidup bersama kebiasaan itu. Kalau masyarakat menolak, tentu dia tidak bisa menjadi hukum kebiasaan. Begitu pula dengan konvensi (kebiasaan) ketatanegaraan. Hal itu bisa hidup menjadi kebiasaan ketatanegaraan bukan hanya karena terus-menerus dilakukan, tetapi juga diterima oleh masyarakat yang hidup di lingkungan konvensi ketatanegaraan itu hidup.

Jadi, tak bisa MPR menetapkan haluan negara sebagai konvensi ketatanegaraan kalau masyarakat Indonesia belum sepenuhnya menerima ide dihidupkannya kembali haluan negara. Masalahnya, ide haluan negara ini belum sepenuhnya diterima masyarakat Indonesia. Hal ini tampak terlihat dari masih banyaknya pro-kontra yang ada, baik di kalangan pakar di bidang hukum dan politik maupun masyarakat umum.

Baca juga: Survei Litbang Kompas: Mayoritas Responden Setuju Amendemen UUD Atur Haluan Negara

Karena itu, tidak tepat bila pilihan dasar hukumnya adalah konvensi ketatanegaraan. Justru, patut dipertanyakan kalau MPR ternyata tetap bersikukuh memilih menghidupkan kembali haluan negara melalui konvensi ketatanegaraan. Sebenarnya, yang mau dijadikan dasar hukum haluan negara itu kebiasaan ketatanegaraan atau “pemaksaan” kebiasaan ketatanegaraan?

Kemudian, menjadikan undang-undang sebagai dasar hukum haluan negara juga jelas tidak tepat. Sebab, Pasal 3 UUD 1945 membatasi kewenangan MPR, yaitu mengubah dan menetapkan UUD; melantik Presiden dan Wakil Presiden; dan memberhentikan Presiden dan/Wakil Presiden. Diluar tiga kewenangan ini, tak boleh ada lagi kewenangan tambahan.

Jadi, kalau suatu undang-undang tiba-tiba memberikan MPR kewenangan tambahan untuk menetapkan haluan negara, maka jelas aturan itu akan bertentangan dengan Pasal 3 UUD 1945. Ketika nanti digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), UU itu berpotensi besar akan dibatalkan dan dianggap tidak berlaku.

Harus amendemen

Dibanding dua sumber hukum itu, saya justru menyarankan agar ide haluan negara tetap dihidupkan dengan dasar hukumnya adalah konstitusi. Mengapa? Pertama, konstitusi adalah hukum tertinggi. Sehingga, dasar hukum haluan negara akan sangat kuat dan tidak terdapat ruang untuk membatalkan atau menghapusnya melalui lembaga peradilan.

Kedua, secara prosedural, syarat untuk memasukkan haluan negara ke dalam konstitusi melalui mekanisme amendemen tidak sesulit menjadikannya sebagai konvensi ketatanegaraan. Cukup memenuhi syarat diajukan oleh minimal 238 anggota MPR, kuorum sidang perubahannya dihadiri oleh minimal 475 anggota MPR, dan putusan perubahan disetujui oleh minimal 365 anggota MPR, haluan negara sudah bisa diterapkan dan mendapat legalitas hukum yang kuat.

Apalagi, angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai oleh para pengusul ide ini di MPR. Karena, realitasnya ide menghidupkan kembali haluan negara ini sebetulnya didukung oleh mayoritas besar anggota MPR. Jadi, saya agak bingung mengapa jalan ini tidak dipilih.

Tak perlu takut

Kompascom (25/7/2022) melaporkan, Djarot Saiful Hidayat sebelumnya mengungkapkan bahwa amendemen tak dipilih karena takut akan melebar kemana-mana. Takut, amendemen nantinya justru merangsang terbukanya kotak pandora.

Saya tahu yang dia maksud kotak pandora itu adalah usul perpanjangan masa jabatan presiden. Tetapi, saya pikir anggota MPR tak perlu takut dan khawatir. Karena, kunci kotak pandora itu ada di mereka sendiri, pada setiap anggota MPR. Selagi mayoritas anggota MPR berkomitmen tidak membuka kotaknya tentu hal itu tidak akan terbuka.

Baca juga: MPR Tekankan Urgensi Haluan Negara Terkait Rencana Pemindahan Ibu Kota

Hal ini sama seperti ketika Amendemen UUD 1945 pada tahun 1998-2002 digelar. Pada saat itu, para anggota MPR sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD, Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem pemerintahan presidensial. Hasilnya, komitmen bisa dijaga hingga proses amendemen berakhir karena tak ada perubahan apapun terhadap ketiga hal itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Satkar Ulama Dukung Airlangga Jadi Ketum Golkar Lagi, Doakan Menang Aklamasi

Nasional
Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Gibran Temui Prabowo di Kertanegara Jelang Penetapan Presiden-Wapres Terpilih

Nasional
KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

KPU Batasi 600 Pemilih Tiap TPS untuk Pilkada 2024

Nasional
Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Dianggap Sudah Bukan Kader PDI-P, Jokowi Disebut Dekat dengan Golkar

Nasional
PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com