JAKARTA, KOMPAS.com - Ada perasaan marah, sakit hati dan rasa jengkel yang dirasakan oleh keluarga Abdurrahman Wahid setelah pelengseran jabatan Presiden pada 23 Juli 2001 silam.
Keluarga Presiden Keempat Indonesia itu merasa tak sepantasnya Gus Dur diperlakukan layaknya seorang kriminal, dipaksa turun dari jabatan yang diraih secara konstitusional.
Baca juga: Cerita Gus Dur Minta Belikan Rawon ke Wartawan karena Tak Bawa Uang
Kemarahan itu diwakili oleh Alissa Qotrunnada, anak pertama Gus Dus saat ditemui Kompas.com di kantornya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jalan Kramat Raya Nomor 164, Jakarta Pusat, Jumat (23/7/2022).
"Saya marah (waktu itu), sakit hati saya karena ini orang (Gus Dur) hidupnya untuk bangsa dan negara, kok diperlakukan seperti ini, itu kemarahan saya," kata Alissa.
Dia marah karena kredibilitas ayahnya sebagai seorang presiden bisa dibuktikan, dan sejarah sudah mencatatnya hingga saat ini.
Baca juga: Drama Panjang Gus Dur Jadi Presiden: Diawali Mundurnya Habibie, Bersaing dengan Megawati
Alissa juga sempat membandingkan bedanya rezim Soeharto jatuh dengan pelengseran Gus Dur.
Suharto jelas memiliki kebijakan yang kontroversial dan menyebabkan beragam kesusahan di tengah masyarakat, seperti pemaksaan transmigrasi misalnya.
Tapi berbeda dengan Gus Dur, apa yang dilakukan presiden keempat ini dinilai sangat sesuai dengan konstitusi yang ada di negeri ini.
"Jadi kok (malah diperlakukan) gini banget?" kata dia.
Tapi amarah itu hanya tinggal kenangan, Alissa mengatakan saat itu memang seluruh anak-anak Gus Dur merasa marah, kecewa melihat pelengseran ayah mereka.
Baca juga: Pertengkaran Gus Dur dengan Megawati dan Politik Nasi Goreng
Mereka sudah memaafkan hal itu. Kata "dendam" bahkan tak dikenal di keluarga Ciganjur (kediaman Gus Dur). Alissa menyebut, "kami kesulitan untuk dendam karena Gus Dur sendiri enggak dendam."
Gus Dur tidak memberikan pesan secara khusus melalui kata-kata kepada anak-anaknya agar tidak menaruh dendam kepada lawan-lawan politiknya.
Dia hanya memberikan contoh secara langsung, semisal petinggi Partai Golkar Akbar Tanjung yang setiap tahun sowan ke kediaman Gus Dur di Ciganjur.
Tak pernah ada penolakan, Gus Dur bahkan menjamu Akbar Tanjung seperti tamu pada umumnya.
"Gus Dur itu bisa membedakan mana yang urusan politik (dan mana urusan) dengan orang," ucap Alissa.
Baca juga: Kisah Dinas Luar Negeri Gus Dur: Sarapan di Paris, Siang Makan di Roma, Malam di Swiss