JAKARTA, KOMPAS.com - Berbagai cara diduga dilakukan oleh lawan politik Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur untuk menggeser kekuasaannya pada 2001.
Skandal Buloggate dan Bruneigate disebut menjadi salah satu "amunisi" yang digunakan oleh kelompok oposisi untuk menggoyang pemerintahan Gus Dur.
Buloggate adalah skandal yang berlangsung pada penghujung masa kepresidenan Gus Dur di Indonesia pada 2000. Gus Dur dituduh telah menyelewengkan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog).
Baca juga: Pengakuan Gus Dur sebagai Seorang Keturunan Tionghoa...
Sementara, Bruneigate adalah skandal yang juga berlangsung pada tahun yang sama dengan Buloggate. Kali ini, Gus Dur dituduh telah menyelewengkan 2 juta dollar Amerika Serikat yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunei Darussalam Hassanal Bolkiah untuk rakyat Aceh.
Walau demikian, sampai saat ini, Gus Dur tidak terbukti melakukan korupsi dalam skandal Buloggate maupun Bruneigate.
Dilansir dari laman NU Online, Gus Dur saat itu berpikir untuk menghindari perang saudara hanya karena mempertahankan jabatan duniawi.
Gus Dur berpikir lebih baik ia mundur dari jabatan Presiden RI. Mundur bukan karena mengalah, tetapi mengutamakan kepentingan bangsa dan keutuhan negara.
Sebab, jutaan rakyat Indonesia kala itu akan membela mati-matian agar Gus Dur tetap pada tampuk pimpinan tertinggi negara. Gus Dur pun sekuat tenaga menahan amarah rakyat yang mendukung penuh dia tetap berada di Istana.
Baca juga: Gus Dur di Mata Wartawan Istana: Sosok Bersahabat dan Berpendirian
Tetapi, ia masih belum menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari Istana Negara kala itu. Sebab, tuduhan lawan politiknya mengenai skandal korupsi dinilai tidak rasional atau irrasional.
Akan tetapi, Gus Dur menolak tuduhan yang menjadikan pelengseran itu sebagai tragedi personal. Bahkan, ia tak penah 'merengek' atau curhat di depan publik terkait dengan serangan politik terhadapnya.
Sikap Gus Dur masih nampak sama, dengan logika komunikasi publik yang 'gitu saja kok repot'.
Dalam sebuah acara, Gus Dur pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Pandjaitan.
Saat itu, ia bercerita pada Luhut tentang hukum Islam yang mengatur bahwa kalau orang diusir dari rumahnya dia harus melawan, kalau perlu dengan menggunakan kekerasan.
Tetapi, karena Gus Dur tak ingin mengambil jalan kekerasan, ia lalu meminta bantuan Luhut untuk menguruskan surat perintah pengosongan Istana Negara dari kantor Kelurahan Gambir karena Istana Negara berdomisili di Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat.
Baca juga: Murka Gus Dur Kala Para Menteri Tolak Dekrit: Kalian Semua Banci!
Karena pengosongan Istana adalah kehendak pemerintah setempat yang sah, maka Gus Dur tak perlu melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur.