SELAIN dalam wajah public office (parlemen) dan central office (struktur internal), Katz dan Mair (2002), melalui bukunya yang berjudul The Ascendancy of the Party in Public Office: Party Organizational Change in Twentieth-Century Democracies, mengatakan bahwa partai politik (parpol) juga memiliki wajahnya yang ketiga, yaitu on the ground (wajah di masyarakat).
Tulisan ini lantas ingin menjadikan konsepsi wajah parpol di masyarakat tersebut sebagai alat untuk memandang proses pembentukan kerja sama para parpol di Indonesia dalam menghadapi Pemillihan Umum Presiden (Pilpres 2024).
Kerja sama tersebut sudah dilakukan secara terang-terangan dalam beberapa pekan terakhir, meski Pilpres baru akan diselenggarakan dua tahun lagi.
Merujuk pada UU No 17 tahun 2017, pada 2024 mendatang, Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) hanya bisa diajukan oleh parpol/gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Praktis, pada 2024 mendatang, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang bisa mencalonkan Capres-Cawapresnya sendiri karena mendudukkan 128 kadernya dari total 575 anggota DPR (22,26 persen) melalui Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019.
Dampaknya, selain PDIP, terlebih bagi yang masih memiliki hasrat untuk mencalonkan tokohnya sendiri sebagai Capres/Cawapres, para parpol jadi harus saling bekerjasama agar bisa melewati angka Presidential Threshold 20 persen tersebut.
Di lapangan, para parpol terdokumentasi telah memulai proses penjajakan agar bisa sampai pada kerja sama yang dimaksud.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) misalnya, tampak agresif. Setelah sempat intim dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menggaungkan ‘koalisi’ semut merah pada pertengahan Juni 2022, belakangan PKB justru merekatkan diri dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan langsung menyodorkan paket Capres-Cawapres Prabowo Subianto dan Muhaimin Iskandar kepada publik.
Kerja sama politik tentu tidak bisa dipisahkan dari momentum pembentukan ‘Koalisi’ Indonesia Bersatu (KIB) yang diinisiasi oleh Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) beberapa waktu sebelumnya.
Dalam format yang agak berbeda, Partai Nasional Demokrat (Nasdem) memilih untuk melakukan penyaringan nama terlebih dulu.
Adapun PKS dan Partai Demokrat tampak sedang bergerak dalam diam. Meski demikian, mengingat tidak ada yang bisa mencalonkan Capres dan Cawapres secara mandiri selain PDIP, para parpol tersebut pada akhirnya harus saling bekerja sama.
Latar belakang inilah yang lantas membuat silaturahim politik antarparpol di Indonesia sedang terjadi dengan riuh-riuhnya.
Namun demikian, di balik keriuhan tersebut, terdapat satu hal penting yang agaknya terlewat dari pemberitaan media masa arus utama: bukankah pada akhirnya masyarakat yang akan memilih Capres dan Cawapres pada 2024 mendatang?
Lalu di mana masyarakat, di tengah keriuhan pembentukan blok-blok politik yang sedang ramai tersebut? Bagaimana posisinya secara ideal?
Dalam konteks hubungan antara parpol dan konstituen, tentu saja keriuhan proses pembentukan blok politik sebagaimana disampaikan di atas justru menunjukkan bahwa masyarakat sedang demikian diabaikan.