JAKARTA, KOMPAS.com - Dokter Spesialis Penyakit Dalam Sub Spesialis Hematologi Onkologi Medik, Pengurus Besar IDI, Zubairi Djoerban mendorong agar pengkajian legalisasi ganja medis di Indonesia berdasarkan pada evidence based medicine (EBM).
Evidence based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medis yang didasarkan pada bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita.
"Pembahasan iya, dong. Kita selalu bilang mengenai evidence based medicine (EBM)," ucap Zubairi Djoerban saat dihubungi lewat sambungan telepon, Jumat (22/7/2022).
Baca juga: Buka Pintu Kaji Penggunaan Ganja Medis, IDI Tunggu Revisi UU Narkotika
Zubairi menuturkan, EBM merupakan pendekatan yang mahfud digunakan dalam dunia medis. EBM juga digunakan saat Indonesia terpapar pandemi Covid-19.
Pada awal pandemi Covid-19, sejumlah obat diberi izin edar atau penggunaan darurat (emergency use authorization/EUA) oleh BPOM, salah satunya adalah klorokuin.
Obat anti malaria ini digunakan secara terbatas pada pasien Covid-19 dewasa karena memiliki fungsi therapeutic.
Kemudian karena satu dan lain hal, penggunaan klorokuin untuk terapi Covid-19 tak lagi dipakai.
Baca juga: Kandasnya Gugatan Legalisasi Ganja Medis di Indonesia dan Kisah-kisah Perjuangan di Baliknya
"Dulu banyak sekali dipakai klorokuin karena logikanya kita berpikir maksudnya bermanfaat. Kemudian terbukti tidak, ya sudah harus dicabut. Dan sekarang tidak boleh karena ternyata klorokuin manfaatnya tidak jelas, efek sampingnya banyak untuk Covid-19," ucap dia.
Demikian juga untuk Ivermectin. Obat ini adalah obat yang awalnya untuk mengatasi infeksi parasit, kemudian tidak digunakan karena beberapa pasien membutuhkan rawat inap setelah mengonsumsi obat tersebut.
Lalu, plasma konvalesen. Plasma dari penyintas Covid-19 beberapa waktu lalu kerap digunakan untuk pengobatan Covid-19.
Baca juga: Komisi III DPR Akan Bahas Relaksasi Ganja Medis dengan BNN dan Para Ahli
Tapi rupanya, plasma ini hanya dibutuhkan untuk penderita Covid-19 tertentu saja. Bahkan di beberapa negara, plasma ini tidak bisa dijadikan standar lantaran masih dalam tahap penelitian.
"Jadi intinya ke evidance based medicine. Di (dunia) kedokteran memang ada tahapan-tahapan seperti itu," ucap dia.
Setelah menentukan manfaatnya, kata Zubairi, penggunaan obat harus terlebih dahulu diujicoba kepada binatang. Jika berhasil, pengujian akan diberikan kepada manusia dalam skala kecil untuk meneliti keamanan dan efektivitasnya.
Baca juga: Usulan Ganja Medis dan Deretan Alasan MK Tolak Uji Materi UU Narkotika
Setelah itu, melakukan menguji efektivitasnya pada ratusan orang bahkan ribuan orang. Setelah dipasarkan pada ratusan ribu orang, obat-obat itu pun juga bisa ditarik kembali jika ada masalah.
"Setelah dipasarkan, ratusan ribu orang menggunakan, terkadang ada masalah. Nah itu bisa dicabut lagi. Intinya bukti ilmiahnya seberapa kuat. Apakah bukti ilmiah yang kuat di AS atau di Australia bisa dipakai di Indonesia, itu kajiannya oleh tim ahli yang saya kira BPOM juga banyak," ucap Zubairi.
Lebih lanjut, dia menyebut, pengkajian oleh tim ahli baru bisa dilakukan setelah Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terbuka untuk direvisi.
Baca juga: MK Tolak Uji Materi tentang Ganja Medis, Anggota Komisi III: RUU Narkotika Kita Bahas Usai Reses
Adapun UU tersebut adalah UU yang melarang penggunaan ganja medis di Indonesia. Revisi UU hanya bisa dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama pemerintah berdasarkan saran dari semua pihak.
"Efek buruknya (ganja medis) banyak, namun efek baiknya mungkin ada. Maka kalau mau yang ideal, efek baiknya dipakai tapi dijaga supaya tidak disalahgunakan. UU mengenai ilegal pemakaian ganja di luar ganja medis harus ketat banget," pungkas Zubairi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.