JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mendukung langkah Amnesty Internasional Indonesia yang meminta DPR RI membuka draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) dibuka secara resmi ke publik.
"Komnas itu mendukung sikap kawan-kawan dari untuk bisa mendapatkan draf terbaru RKUHP," ujar Beka dalam konferensi pers virtual, Senin (18/7/2022).
Baca juga: Soal Revisi KUHP, Anggota DPR: Percayakan ke Kita, Insyaallah Lebih Banyak Manfaat daripada Mudarat
Beka menilai, draf RKUHP yang baru penting dibuka ke publik untuk mengundang peran masyarakat dalam pembentukan hukum pidana yang akan menjadi rujukan penegak hukum.
Menurut Beka, mengetahui isi dari draf tersebut sebelum resmi disahkan adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh pemerintah.
"Dari perspektif HAM dan informasi hak publik untuk tau itu juga bagian dari HAM dan itu tanggung jawab negara untuk melindungi," ucap dia.
Komnas HAM juga memberikan catatan, agar RKUHP yang nantinya disahkan tidak merujuk pada semangat menghukum kesalahan masyarakat.
Baca juga: Ancam Kebebasan Pers, Amnesty International Desak DPR RI Buka Draf RKUHP Secara Resmi
KUHP diharapkan bisa menjadi acuan hukum yang melindungi kebebasan sipil dari orang-orang yang melanggar hak asasi manusia.
"Yang kita diskusikan ini kebebasan sipil bagaimana RKUHP ini semangatnya bukan menghukum tapi bagaimana melindungi kebebasan sipil yang memang sudah susah payah kita raih," ucap dia.
Di acara yang sama, anggota Amnesty International Indonesia Zaky Yamani mendesak agar DPR RI membuka secara resmi draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) secara resmi karena dinilai mengancam kebebasan pers.
Dia mengatakan sudah mengirimkan permintaan agar draf yang akan menjadi panduan hukum pidana di Indonesia itu bisa dibaca publik sebelum disahkan.
"Kami mengajukan permohonan keterbukaan informasi publik kepada DPR, agar DPR memang memberikan secara resmi draf itu sehingga kami bisa melihat apakah draf yang dipegang DPR sama dengan draf yang dipegang publik," kata Zaky.
Baca juga: Kritik Keras Dewan Pers soal RKUHP yang Mengancam Kerja Jurnalistik
Zaky juga memperingatkan agar pemerintah dan DPR bisa berkaca dari peristiwa aksi demonstrasi menolak pengesahan RKHUP 2019.
Saat itu publik menolak pengesahan RKUHP dan terjadi demonstrasi besar-besaran yang memakan korban jiwa.
"Rupanya kejadian tahun 2019 tidak cukup menjadi contoh, bahwa keterlibatan publik (sangat penting) dalam menyusun undang-undang sampai ke level personal, terkait juga dengan komunitas pers, ini akan berdampak besar karena ada pasal-pasal yang memang mengatur tentang kebebasan pers dalam RKUHP," papar dia.
Adapun pada Jumat (15/7/2022), Dewan Pers merilis 19 pasal yang dinilai mengancam kebebasan pers dan produk jurnalistik.