JAKARTA, KOMPAS.com - Walau masih dalam pembahasan antara pemerintah dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sejumlah pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai bisa berpotensi menghambat kerja jurnalistik.
Bahkan, sejumlah pasal di dalam RKUHP dinilai bisa mengancam kebebasan pers.
Padahal, kebebasan pers yang ada saat ini diperjuangkan melalui proses legislasi di DPR selepas jatuhnya rezim Orde Baru saat peristiwa Reformasi 1998.
Kekhawatiran tentang pasal-pasal di RKUHP yang bisa mengancam kemerdekaan dan kebebasan pers disuarakan oleh Dewan Pers.
Menurut Dewan Pers, ada 19 pasal di RKUHP yang berpotensi mengkriminalisasi karya jurnalistik.
Menurut Dewan Pers, 19 pasal RKUHP itu juga bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca juga: Dewan Pers: RKUHP Banyak Mengandung Ancaman Kebebasan Pers
"Dewan Pers menyatakan agar pasal-pasal di bawah ini dihapus karena berpotensi mengancam kebebasan kemerdekaan pers," ujar Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra dalam konferensi pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Jumat (15/7/2022) pekan lalu.
Menurut Azyumardi, pasal-pasal yang dinilai bakal mengekang kebebasan dan berpotensi mengkriminalisasi pers adalah sebagai berikut:
"Rancangan KUHP ini mengandung banyak sekali ancaman atau bahaya terhadap kebebasan pers, kebebasan bermedia, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, dan sebagainya," ujar Azyumardi.
Azyumardi mencontohkan Pasal 188 yang mengatur ketentuan tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara.
Dalam pasal tersebut, media massa tak boleh menyiarkan hal-hal terkait dengan komunisme, marxisme, dan leninisme.
Paham ideologi tersebut hanya boleh dibicarakan dalam kajian ilmiah.
Baca juga: Dewan Pers Minta 19 Pasal dalam RKUHP yang Mengancam Kebebasan Pers Dihapus
"Tapi, kalau di media secara implikasi itu enggak boleh, karena kalau ada tulisan mengenai marxisme meskipun itu tulisan yang kritis terhadap marxisme, tetapi itu bisa menimbulkan kegaduhan dan deliknya ada dua tahun kalau enggak salah," kata Azyumardi.
Tidak sampai di situ, pidana bagi media massa yang nekat menyiarkan marxisme dan sejenisnya akan semakin berat bila menimbulkan kegaduhan.
"Kalau menimbulkan kegaduhan, bisa ditambah hukumannya. Kalau kegaduhannya menimbulkan korban, itu hukumannya tambah lagi," tutur Azyumardi.