Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Alfikri Lubis
Peneliti

Peneliti Hukum

Mempersoalkan Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

Kompas.com - 04/07/2022, 10:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BANYAK perdebatan seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), seperti soal draf naskah akademik yang masih lama yakni tahun 2015 dan sejumlah pasal yang dinilai bermasalah. Dalam tulisan ini, penulis hanya menyoroti pasal tentang penghinaan terhadap presiden.

Ketentuan mengenai “penghinaan presiden” sebenarnya sudah pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Pertimbangan hukum (ratio decindendi) yang dimuat dalam putusan MK tersebut yakni, pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.

Baca juga: Seputar Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP yang Dipastikan Tak Akan Dihapus

Namun dalam perkembangan pembahasan RKUHP, pasal mengenai “penghinaan presiden” diatur kembali dengan beberapa polesan yang berbeda dari sebelumnya. Jika dulu pasal penghinaan presiden masuk kategori delik biasa, artinya dapat diproses langsung tanpa ada persetujuan dari korban atau pihak yang dirugikan, kini digantikan dengan delik aduan yang berarti harus ada pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan.

Alasan dalam naskah akademik

Dalam naskah akademik RKUHP dijelaskan bahwa diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” karena dinilai sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Jika kepala negara diserang atau dihina, masyarakat tidak akan dapat menerima hal tersebut. Kepala negara dan wakilnya dapat dipandang sebagai personifikasi negara dan di Indonesia, masyarakatnya masih mempunyai rasa hormat yang kuat terhadap presiden dan wakil presidennya.

Berdasarkan naskah akademik tersebut, beberapa alasan dipertahankannya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” adalah:

  1. Nilai dasar yang ingin dilindungi oleh delik penghinaan adalah “martabat/derajat kemanusiaan” (human dignity) yang merupakan salah satu nilai universal yang dijunjung tinggi.
  2. Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek:moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/ kemanusiaan), karena “menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan”.
  3. Penentuan ruang lingkup jenis tindak pidana penghinaan bisa berbeda-beda untuk setiap masyarakat/negara.
  4. Ruang lingkup penghinaan orang biasa; orang-orang tertentu (yang sedang menjalankan ibadah dan petugas agama; hakim/peradilan; golongan penduduk; simbol/lambang/aparat/lembaga kenegaraan (bendera/lagu kebangsaan; lambang kenegaraan; pejabat/pemegang kekuasaan umum; pemerintah; presiden/wakil presiden, termasuk dari negara sahabat; simbol/lembaga/substansi yang disucikan (Tuhan, firman dan sifat-Nya; agama, rasul, nabi, kitab suci, ajaran agama, atau ibadah keagamaan; bahkan orang yang sudah mati.
  5. Dirasakan janggal kalau penghinaan terhadap orang biasa, orang yang sudah mati, bendera/lagu kebangsaan, lambang kenegaraan, petugas/pejabat umum, dan kepala negara sahabat saja dijadikan tindak pidana, sedangkan penghinaan terhadap presiden tidak; terlebih status/posisi/kedudukan/fungsi/tugas presiden berbeda dengan orang biasa, dilihat dari sudut sosiologis, hukum, dan ketatanegaraan.
  6. Karena status/posisi presiden berbeda dengan orang biasa pada umumnya, maka tidak pada tempatnya hal ini dihadapkan/dipermasalahkan dengan prinsip “equality before the law”. Apabila dipermasalahkan demikian, semua perbedaan jenis tindak pidana yang didasarkan pada status/kualifikasi yang berbeda (seperti terdapat dalam jenis-jenis penghinaan, pembunuhan, penganiayaan) juga berarti harus ditiadakan karena dipandang bertentangan dengan prinsip “equality before the law”.

Dalam RUU KUHP, ketentuan mengenai “penghinaan presiden” diatur pada Pasal 217 sampai pasal 220. Berikut penjelasan pasal-pasal tersebut:

  1. Pasal 217 melarang setiap orang untuk menyerang diri presiden atau wakil presiden dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun. Bagian kedua penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
  2. Pasal 218 ayat (1) melarang setiap orang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  3. Pasal 218 ayat (2) mengecualikan perbuatan yang bukan merupakan merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
  4. Pasal 219 melarang setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV
  5. Pasal 220 ayat (1) mengatur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.
  6. Pasal 220 ayat (2) mengatur bahwa pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden. Artinya delik penghinaan presiden/ wakil presiden merupakan delik aduan dan harus ada laporan tertulis dari presiden/wakil presiden.

Pasal tersebut di atas menunjukkan bahwa presiden sebagai instansi seakan memiliki rasa/emosi. Tentu saja sebuah instansi tidak memiliki perasaan. Jabatan presiden baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan akan tetap seperti itu keadaannya. Pribadi orang yang akan menjadi presiden yang memiliki perasaan.

Ketentuan itu  tentu menjadi senjata yang dapat digunakan untuk menjerat siapapun yang melakukan kritik terhadap presiden. Sudah seharusnya jika pribadi presiden yang mendapatkan penghinaan, pasal yang digunakan yakni Pasal 310, 311, 315, 318 KUHP. Pasal tersebut dapat digunakan siapapaun yang pribadinya mendapatkan penghinaan.

Pasal penghinaan presiden ini merupan produk zaman penjajahan belanda. Pasal itu pernah dan sudah lama diatur dalam KUHP  (Wetboek van Strafrecht/WvS). Dalam KUHP tersebut alasannya digunakan untuk melindungi harkat martabat dan kehormatan penguasa pada saat itu yang sedang menjajah Indonesia.

Dahulu pasal ini pernah beberapa kali diterapkan terhadap pejuang kemerdekaan, misalnya Bung Karno pernah dijerat dengan pasal itu karena tindakannya membacakan pidato pembelaan “Indonesia Menggugat”. Bung Karno dan rekannya dituduh ingin menggulingkan kekuasaan Hindia Belanda dan menyebarkan propaganda. Tentu saja kejadian masa lalu tidak ingin terulang lagi pada masa kini dan yang akan datang.

Menentang pasal penghinaan presiden

Segala bentuk penghinaan merupakan perbuatan tercela dan tidak dibenarkan. Namun di sisi lain, diaturnya ketentuan mengenai “penghinaan presiden” berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sebagaimana telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.

Pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden sangat berbahaya terhadap kebebasan berpendapat, menyampaikan pemikiran, dan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah.

Karena itu, menentang keberadaan pasal penghinaan terhadap presiden merupakan peryataan sikap yang perlu disuarakan agar kejadian dan kekhawatiran akan kejadian masa lalu tak terulang kembali. Tahun 2006, MK telah menyatakan bahwa pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.

Baca juga: Pasal Penghinaan Presiden Disebut Bertentangan dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik

Daron Acemoglu dan James A Robinson dalam buku mereka yang berjudul “Why Nations Fail” sudah mengingatkan bahwa salah satu penyebab kegagalan negara adalah dikekangnya gerakan kedaulatan rakyat. Tak mudah bagi rakyat kebanyakan untuk memegang kedaulatan politik dan menciptakan perubahan sosial. Namun itu bukan sesuatu yang mustahil, dan negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat sudah membuktikannya, begitu pula Jepang, Botswana, dan Brasil.

Sumbahsih gerakan rakyat sebagai transformasi politik sangat diperlukan sebagai modal untuk mengubah bangsa yang melarat menjadi hebat. Buku tersebut menjadi pengingat dan bukti bahwa tidak selamanya negara yang berada dalam cengkraman atau dikepung sistem yang korup dan dan tidak cakap menjalankan organisasi kekusaan akan berkuasa selamanya.

Sebagaimana rakyat Inggris yang telah membuktikan untuk bangkit menuntut hak politik dan berhasil merebutnya untuk memaksimalkan peluang-peluang ekonomi yang terbentang di depan mata. Perjuangan rakyat Inggris tersebut berhasil membelokkan arah perjalanan politik dan ekonomi yang mencapai titik klimaksnya pada Revolusi Industri.

Pada akhirnya, organisasi kekuasaan itu harus dibatasi. Jika tidak dibatasi akan rentan terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Sudah banyak contoh negara yang gagal akibat tidak dibatasinya kekuasaan.

Hukum yang dibuat tidak boleh menjadi benteng dan alat yang digunakan penguasa untuk menggebuk rakyat yang menyampaikan kritik. Jika seorang penguasa tidak ingin mendapatkan hinaan dari rakyat, wujudkanlah kebijakan yang tidak menyengsarakan rakyat. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Prabowo Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Prabowo Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

CSIS: Pemilu 2024 Hasilkan Anggota DPR Muda Paling Minim Sepanjang Sejarah sejak 1999

Nasional
PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

PPATK Koordinasi ke Kejagung Terkait Aliran Dana Harvey Moeis di Kasus Korupsi Timah

Nasional
Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com