JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian menjadi institusi negara dengan laporan kasus penyiksaan paling banyak setahun belakangan, mengutip catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Kurun Juni 2021 hingga Mei 2022, total ada 31 kasus penyiksaan oleh polisi yang terdokumentasikan dari pemantauan yang dihimpun melalui kanal media informasi, advokasi, serta jaringan-jaringan KontraS di daerah.
Sementara itu, 19 kasus penyiksaan lain dilakukan oleh TNI dan sipir.
Baca juga: Kontras Catat 50 Tindak Kekerasan yang Dilakukan Aparat dalam Setahun
Peneliti Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS, Rozy Brilian menyampaikan bahwa penyiksaan ini terjadi hingga level polsek dan polres.
"Kami mencatat pada level polres 22 kasus, polsek 6 kasus, dan polda 3 kasus. Tingginya angka di level polres ini menunjukkan bahwa ada pengawasan yang kurang di polres," ujar Rozy dalam jumpa pers virtual yang dihelat Jumat (24/6/2022).
Sebanyak 31 penyiksaan itu berakibat pada 85 orang luka-luka dan 13 korban meninggal dunia.
Baca juga: KontraS Desak Tragedi Trisakti Tak Dijadikan Jualan Politik, Tuntut Penyelesaian
Berdasarkan catatan KontraS, penyiksaan ini dilakukan menggunakan tangan kosong, benda tumpul, selang, tali, linggis, rokok, listrik, air panas, hingga senjata tajam dan senjata api.
Rozy menyebutkan bahwa penyiksaan itu kerapkali dilakukan polisi di ruang tertutup untuk meminta pengakuan.
Temuan ini sejalan dengan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bahwa penyiksaan terjadi sejak penangkapan, penahanan, bahkan di luar proses hukum.
Sementara itu, Komnas Perempuan menemukan, penyiksaan oleh anggota Korps Bhayangkara juga kerap terjadi pada perempuan, termasuk dalam bentuk pernyataan-pernyataan bernada merendahkan atau melecehkan.
Baca juga: Kontras Desak Polisi Bebaskan 7 Aktivis yang Ditangkap Saat Demo Tolak DOB di Papua
KontraS mengkritik slogan "Presisi" Polri yang mengamanatkan soal "pengawasan", namun nyatanya pengawasan itu longgar sehingga penyiksaan berujung maut bahkan dapat terjadi di berbagai level.
KontraS juga mengeluarkan beberapa rekomendasi agar tren ini bisa segera berakhir, salah satunya melalui penguatan regulasi
"Dalam ranah regulasi, lembaga yang memiliki otoritas yakni DPR dan pemerintah harus menghadirkan peraturan perundang-undangan yang produktif dalam mencegah dan mengantisipasi praktik-praktik penyiksaan," kata Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti dalam keterangan tertulis.
"DPR dan Pemerintah juga harus segera mempersiapkan revisi ketentuan KUHAP yang selama ini masih membuka ruang penyiksaan bagi aparat penegak hukum dalam kerangka sistem peradilan pidana," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.