PARTISIPASI publik dalam pembentukan undang-undang tidak usang untuk dibicarakan. Terlebih pembahasannya kembali mencuat setelah DPR bersama Pemerintah mengesahkan revisi kedua terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Pada pokoknya, DPR bersama Pemerintah dituding tidak terbuka dan mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukannya sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Beberapa kelompok masyarakat bahkan menyatakan secara terbuka akan mengajukan pengujian formil ke MK.
Kritik dan perdebatan terhadap proses perubahan kedua UU P3 sejatinya masih dalam taraf yang wajar, karena memang demokrasi memberikan ruang untuk itu.
DPR bukan tidak menjalankan proses legislasi secara terbuka, tapi memang kita belum memiliki standar baku bagaimana partisipasi masyarakat itu dijalankan.
Bila merujuk pada putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, MK menyatakan bahwa partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang harus dilakukan dengan lebih bermakna (meaningful participation).
Setidaknya terlaksana dengan memenuhi tiga prasyarat: hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard); hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered); dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
Ketiga bentuk partisipasi publik tersebut di atas setidaknya juga harus terlaksana minimal di tiga tahap proses pembentukan undang-undang: (i) pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU); (ii) pembahasan bersama antara DPR dengan Presiden, serta mengikutsertakan DPD sepanjang terkait dengan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; dan (iii) persetujuan bersama antara DPR dan presiden.
Dalam ketiga tahapan tersebut, asas keterbukaan dan partisipasi publik telah dilakukan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Naskah akademik dan draf RUU perubahan kedua UU P3 sudah dipublikasikan sejak jauh-jauh hari guna menjaring masukan.
Begitupun setiap tahapan pembahasan RUU juga dilakukan secara terbuka dengan disiarkan secara langsung di TV Parlemen dan Kanal Youtube DPR.
Selain itu, DPR juga telah melaksanakan berbagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Focus Group Discussion (FGD), sosialisasi dan mengundang kelompok-kelompok masyarakat yang terdampak atau kelompok yang berkepentingan di isu terkait untuk mendapatkan masukan.
Artinya dalam konteks ini, apa yang menjadi konsen dari putusan MK tentang meaningful participation sudah terlaksana di semua tahapan.
Hanya saja, partisipasi masyarakat yang dijalankan dalam proses revisi UU tersebut patut diakui belum memuaskan ekspektasi sebagian orang.
Secara normatif, bila merujuk pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, pembentukan suatu undang-undang pada dasarnya haruslah dibentuk oleh lembaga/organ yang tepat (beginsel van het juiste orgaan).