RAPAT Kerja Nasional Partai Nasional Demokrat (Rakernas Partai Nasdem) baru saja usai dengan klimaks politik.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengumumkan tiga bakal calon presiden untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, masing-masing Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (Kompas.com, 17/06/2022).
Tiga nama bakal calon presiden tersebut berasal dari usulan-usulan dewan perwakilan wilayah Nasdem seluruh Indonesia.
Menjadi menarik, dua nama bakal capres unggulan Nasdem, yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan selalu bertengger di jajaran lima besar capres hasil survei dari berbagai lembaga survei termasuk Nusakom Pratama dua tahun terakhir ini.
Tidak ada hal yang baru dan mengejutkan sebetulnya dari pengumuman Rakernas Partai Nasdem tersebut, selain “terpelantingnya” nama Menteri BUMN Erick Thohir yang semula digadang-gadang masuk dalam pengumuman nominasi capres Nasdem.
Andika Perkasa walau tidak pernah masuk dalam jajaran lima besar capres unggulan survei beberapa lembaga survei, namun dengan masuknya ke dalam radar politik Nasdem membuat nama Panglima TNI itu akan menjadi “meteor” pemikat untuk partai-partai politik.
Ada semacam kredo masa lalu peninggalan rezim Orde Baru, kestabilan politik kepemimpinan nasional bisa berjalan jika milter mendapat panggung kekuasaan.
Bisa jadi, nama Panglima TNI Andika Perkasa menjadi jawaban tradisi militer di panggung kekuasaan seperti Soeharto – Susilo Bambang Yudhoyono di posisi RI-1 atau Umar Wirahadikusuma dan Try Sutrisno di pentas RI-2.
Keputusan Nasdem untuk “mendahului” mengeluarkan nama bakal capres terbilang paling cepat dan paling berani di antara partai-partai politik lain.
Sementara masih ada partai besar yang “kelimpungan” menentukan kader terbaiknya untuk disorong menjadi capres, Nasdem telah mencontohkan rasa percaya dirinya dalam pentas politik.
Sementara partai-partai sibuk merapatkan barisan untuk membentuk koalisi, Nasdem begitu yakin sendirian menyebut nama bakal capres.
Dan sementara ada partai lain yang “kebingungan” mencari sekondan koalisi, jutru Nasdem begitu over confident akan ada partai lain yang “bergerak” untuk bergabung dengannya.
Tentu saja dengan pengumuman bakal capres versi Nasdem akan “memancing” partai-partai lain yang suaranya tidak cukup untuk mengusung capres sendiri akan “berpikir” ulang untuk mencari manuver politik.
Apakah akan tetap “keukeuh” menjajakan capres menurut versinya ataukah “terpaksa” bergabung dengan Nasdem karena ketakutan imbas electoral votes bagi partainya jika tetap “ngotot” mendeklarasikan capres “abal-abal”.
Jika Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN) telah seia sekata merapatkan barisan dalam Koalisi Indonesia Bersatu, tentu saja strategi ini semakin mengecilkan peluang munculnya koalisi-koalisi lain yang bisa mengajukan capres-cawapres.
Bisa jadi pula, keberanian Nasdem dengan strategi “blitzkrieg”-nya menarik partai lain untuk bergabung dengan menyodorkan tawaran cawapres.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang selalu “harga mati” menjajakan Muhaimin Iskandar sebagai capres, bisa pula akhirnya rela men-down grade Cak Imin sebagai cawapres jika pada akhirnya berlabuh dengan Nasdem.
Harus diakui, tiga nama bakal capres Nasdem berkategori premium sehingga laik jual di perhelatan Pilpres.
Meminjam istilah strategi perang tantara Jerman di Perang Dunia II, taktik blitzkrieg begitu mengagetkan tantara Sekutu karena begitu efektif menguasai kantung-kantung pertahan lawan karena serangan terpadu dari matra darat, matra udara dan matra laut.
Kekuatan militer Sekutu yang berpusat di satu lokasi, sempat lumpuh dengan serangan cepat blitzkrieg Jerman.