PADA awal 1990-an, buku karya Denys Lombard yang berjudul Nusa Jawa Silang Budaya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Karya tersebut menjelaskan, Indonesia merupakan suatu bangsa yang mendiami suatu posisi silang strategis dengan tetap mampu mempertahankan identitasnya. Hal tersebut terlihat dari sejarah perkembangan bahasa di kepulauan Nusantara.
Temuan itu konsisten dengan apa yang pernah diungkapkan oleh budayawan Prof Dr RM Ngabehi Poerbatjaraka beberapa dekade sebelumnya. Bahkan, Abdullah Ciptoprawiro, ahli filsafat Nusantara, menelaahnya lebih dalam lagi yaitu, bukan hanya struktur bahasa yang bertahan tetapi pola atau wadah dalam filosofi budaya masyarakatnya yang tetap meskipun unsur-unsur asing datang dan pergi mengisinya.
Atas dasar ini, maka tidak mengherankan Bung Karno selalu mengatakan bukan beliau pencipta Pancasila. Dia hanya penggali Pancasila. Di hadapan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1960, Bung Karno menegaskan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi dari esensi peradaban bangsa kepulauan Nusantara yang sudah ada ribuan tahun.
Masih menurut Bung Karno, nilai yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia adalah semangat gotong royong.
Baca juga: Maksud dari Pancasila Tidak Bersifat Utopis
Terkait hal ini, Soediman Kartohadiprodjo menyampaikan bahwa nilai-nilai Pancasila berasal dari nilai-nilai hukum adat. Dengan demikian, nilai-nilai yang tersimpan dalam Pancasila merupakan manifestasi nilai-nilai hukum adat yang menjadi pegangan kehidupan bangsa di Nusantara selama ribuan tahun.
Nilai-nilai tersebut apabila dijabarkan menjadi pasangan nilai-nilai antinomies berupa dominasi nilai-nilai komunalisme terhadap individualisme, dominasi nilai-nilai spiritualisme terhadap nilai-nilai materialisme dan dominasi nilai-nilai romantisisme terhadap rasionalisme (Agus Brotosusilo, 2021).
Hukum adat yang merupakan hukum tidak tertulis memiliki jumlah yang begitu banyak di Nusantara, tergantung dari situasi geografis dan sejarah pembentukan masyarakat, sehingga hukum tersebut dipatuhi dalam sikap tindak masing-masing masyarakat hukum adat. Namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya memiliki konsistensi, termasuk makna yang berhasil digali oleh Bung Karno dan didukung oleh para pendiri bangsa pada proses pembentukan negara Republik Indonesia.
Dengan memahami nilai-nilai Pancasila sebagai pola yang tetap atau wadah dari segenap unsur-unsur yang masuk maupun berkembang dari dalam masyarakat Indonesia, maka apabila dilihat lebih seksama sila ke-empat Pancasila, yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan...," merupakan suatu bukti bahwa dominasi nilai-nilai spiritualisme dalam kehidupan bangsa Indonesia begitu kuat.
Konsep hikmat kebijaksanaan mustahil dipisahkan dari keyakinan spiritual terhadap pentingnya bimbingan dari Tuhan Sang Maha Pencipta. Oleh sebab itu konsep kerakyatan maupun supremasi hukum dalam konteks negara Republik Indonesia tidak dapat dibandingkan secara langsung dengan konsep-konsep sekuler yang berasal dari masyarakat asing.
Keselarasan antara tata peraturan perundang-undangan nasional dengan nilai-nilai Pancasila akan melahirkan kebijakan negara yang pastinya mengutamakan kepentingan nasional.
Kepentingan nasional yang vital dari suatu bangsa akan terlihat dari kebijakan negara terkait aktivitas ekonomi strategisnya yang merupakan jantung dan urat nadi kehidupannya. Dalam hal Indonesia, industri nasional terkait manufaktur, pariwisata, makanan dan minuman, tekstil, alat pertahanan, pertanian dan perkebunan seperti padi, cokelat, rempah-rempah, kopra, kelapa sawit, tembakau dan cengkeh, perikanan air tawar dan laut, bahkan pertambangan, minyak-gas (energi), ekonomi digital dan sebagainya merupakan kepentingan nasional yang vital.
Melindungi kepentingan nasional yang vital haruslah tetap memperhatikan kepentingan jangka panjang bangsa Indonesia seperti kelestarian keanekaragaman hayati (biodiversitas flora dan fauna) dan keanekaragaman budaya. Apalagi nilai-nilai Pancasila menghendaki hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia dan alam.
Salah satu contoh terbaru adalah kelangkaan minyak goreng sebagai produk turunan dari kelapa sawit. Ironisnya, Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dunia.
Baca juga: Peristiwa Lahirnya Pancasila