SIAPA sangka, jika merujuk pada analisis para Indonesianis seperti David T. Hill & Khrisna Sen (2000), internet begitu kontributif terhadap proses peruntuhan rezim Orde Baru.
Ceritanya begini: sekelompok aktivis pro-demokrasi yang jengah dengan otoritarianisme berkumpul dan berdiskusi melalui forum mailing list (milis) yang dinamakan Apa Kabar.
Milis tersebut sebetulnya bukan dari Indonesia, melainkan diinisiasi oleh seseorang bernama John MacDougall dari Maryland (sebuah negara bagian di AS) agar menjadi forum komunikasi politik yang mengkritik Orde Baru dari dalam dan luar negeri.
Lewat forum online tersebut, para aktivis mempelajari bagaimana membangun gerakan sosial yang menjadi martir bagi reformasi dan demokratisasi.
Saya kira tidak begitu banyak yang tahu bahwa internet menjadi media efektif dalam membangun gerakan perlawanan terhadap Presiden Suharto saat itu.
Internet yang merupakan global networks of computer tidak serta-merta dapat diblokir oleh pemimpin otoriter disebabkan servernya yang mampu berpindah ke negara lain.
Kejadian semacam ini terulang pada 2010 lalu di negara-negara Timur Tengah. Seorang pedagang kaki lima di Tunisia yang merasakan frustasi karena dagangannya disita aparat memutuskan untuk membakar diri sendiri sebagai bentuk protes.
Aksi protes tersebut menjadi viral di media sosial dan menggerakkan amarah publik yang luar biasa. Banyak orang berdemonstrasi menuntut Ben Ali turun.
Revolusi Tunisia pecah, yang layaknya “bola salju” bergulir ke negara-negara Arab lainnya seperti Libya, Mesir, hingga Suriah.
Arab Spring adalah manifestasi dari revolusi yang berakar pada diskusi warga di internet, terutama media sosial.
Seberapa keraspun pemerintah melakukan sensor tidak akan pernah mampu membungkam protes di ranah maya karena jejaring internet begitu fleksibel dan terdesentralisasi.
Tidak mengherankan jika banyak scholars merayakan kehadiran internet sebagai ruang demokrasi yang paling demokratis.
Demokrasi digital yang berarti “upaya mempraktikkan demokrasi tanpa batasan ruang, waktu, dan kondisi fisik lainnya” pada saat bersamaan cukup banyak meninggalkan residu.
Freedom of speech artinya berita bohong dan misinformasi ada di mana-mana.
Banyak studi yang menunjukkan bahwa kini negara-negara demokrasi menghadapi problem polarisasi sosial yang sangat serius seperti di AS, termasuk Indonesia.