KOMPAS.com – Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan.
Prositutisi atau pelacuran telah dikenal sejak zaman pra-kemerderdekaan. Modus operandi yang digunakan bahkan tidak jauh berbeda.
Hingga kini, sudah banyak tindakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal ini, mulai dari cara persuasif hingga represif.
Salah satu cara represif yang digunakan, yakni dengan “mengkriminalisasi” perbuatannya dalam kaidah hukum pidana dan disertai dengan sanksi yang diancamkan atasnya.
Berbagai peraturan perundang-undangan telah dikeluarkan untuk menangani prostitusi. Mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Berikut beberapa peraturan perundang-undangan terkait prositusi di Indonesia.
Baca juga: Polisi Bongkar Prostitusi di Perdesaan Blitar, Tangkap Muncikari Berusia 80 Tahun
Aturan terkait praktik prostitusi telah dituangkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), ada beberapa Pasal yang mengatur dan berkaitan dengan prostitusi, yakni Pasal 295, Pasal 296, Pasal 297, Pasal 506, dan Pasal 284 yang bisa digunakan untuk kasus tertentu.
Pasal 295 mengancam orang-orang yang menyebabkan, menghubungkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa dengan orang lain dan menjadikan perbuatan itu sebagai pencarian.
Orang yang bisa dikategorikan sebagai muncikari tersebut dapat diancam pidana penjara selama lebih dari lima tahun.
Pasal 296 juga menjerat para muncikari yang mengadakan atau menyediakan jasa prostitusi orang dewasa.
Pasal tersebut berbunyi, “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.”
Sesuai dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012, jumlah denda yang diancamkan dalam KUHP, kecuali Pasal 303 Ayat 1 dan Ayat 2, 303 bis Ayat 1 dan Ayat 2, dilipatgandakan menjadi seribu kali.
Pasal 296 berkaitan dengan Pasal 506 yang juga mengatur tentang muncikari atau pihak yang menjadi penghubung.
Pasal 506 berbunyi, “Barangsiapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.”