DALAM skema internasional, setiap negara melakukan serangkaian upaya untuk mencapai kepentingan nasional. Salah satunya melalui hubungan kerja sama yang dijalin dengan negara lain.
Hubungan tersebut dilandasi dengan prinsip politik luar negeri yang digunakan sebagai salah satu instrumen diplomasi negara untuk mencapai seluruh kepentingan dalam lingkup domestik atau internasional.
Indonesia dalam praktik politik luar negeri mengimplementasikan prinsip “bebas aktif”.
Politik luar negeri bebas aktif yang dijadikan prinsip Indonesia lahir sejak akhir Perang Dunia II ketika terdapat Blok Barat dan Blok Timur.
Dengan dua ideologi berbeda yang ada saat itu, Indonesia memilih untuk tidak memihak pada kubu manapun.
Hal tersebut ditegaskan Mohammad Hatta dalam pidatonya ketika menghadiri Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September 1948.
Dengan prinsip bebas aktif, Indonesia menegaskan bahwa sikap dan kebijakan Indonesia tidak akan dikendalikan oleh kepentingan politik dari negara atau aktor lain.
Prinsip ini kemudian diikat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea pertama pasal 11 dan pasal 13 pada masa Demokrasi Terpimpin, Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 pada masa orde baru dan diperbaharui pada Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999.
Prinsip politik luar negeri “bebas aktif” yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 37 tahun 1999 kini menjadi landasan operasional Indonesia dalam “bernegara” mencapai kepentingan nasional.
Kepentingan nasional dalam konsep power merupakan tonggak utama dalam politik luar negeri dan politik internasional yang realis.
Hal ini termanifestasi pada bentuk strategi diplomasi yang harus berlandas pada kepentingan nasional, bukan pada alasan moral, legal dan ideologi yang dianggap utopis atau bahkan berbahaya (Morgenthau, 1990).
Menariknya, Indonesia menjadikan landasan moral, yakni menjaga perdamaian dunia sebagai bagian dari kepentingan nasional.
Relevansi “bebas aktif” versi Indonesia harus menjadi sebuah gaya tersendiri yang mengafiliasi hubungan kekuasaan atau pengendalian terhadap relasi yang bisa diciptakan melalui teknik pemaksaan atau kerjasama yang “bebas dan aktif”.
Politik “bebas aktif” Indonesia dalam kontelasi hubungan internasional menurut Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, sudah tercermin dalam kebijakan luar negeri Indonesia saat ini, terutama dalam menjawab tantangan rivalitas di kawasan Indo-Pasifik.
Dengan politik “bebas aktif” Indonesia juga turut menjaga sentralitas dan soliditas ASEAN dalam menjadi jangkar stabilitas di kawasan.