KATA sentralistik dan otonomi daerah semakin pudar dari kamus politik Indonesia setelah 20 tahun reformasi.
Sayangnya hal itu bukan menandakan kita telah selesai dengan dua hal yang digemakan para demonstran di seantero negeri menjelang kejatuhan rezim Orde Baru dan awal dimulainya era reformasi.
Karut-marut penunjukan penjabat (Pj) kepala daerah mengingatkan pada frasa “reformasi telah mati” yang ramai diseru mahasiswa dalam beberapa bulan terakhir.
Pengisian Pj kepala daerah, terutama bupati dan wali kota, dengan sempurna mengembalikan ingatan kita pada istilah dwifungsi ABRI dan droping pejabat dari pusat.
Jenderal Besar (Purn) Soeharto sangat senang mengisi jabatan-jabatan sipil di daerah dengan anggota ABRI (kini TNI minus Polri) aktif.
Baca juga: Ojo Kesusu dan Jokowi yang Terburu-buru
Di samping untuk mengamankan kekuasaannya, pola ini juga mencerminkan ketidakpercayaan Soeharto kepada pejabat di daerah, terutama sipil.
Diawali dengan semangat untuk menyerentakan pemilihan kepala daerah agar setiap tahun tidak disibukan dengan kontestasi politik, lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara serentak dalam satu kurun waktu.
Putusan ini kemudian dimasukan dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (UU Pilkada).
Konsekuensi dari penyerentakan pilkada tahun 2024, terjadi kevakuman kekuasaan di daerah-daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir tahun 2022 dan 2023.
Tercatat ada 271 daerah yang akan dipimpin oleh Pj kepala daerah. Untuk tahun 2022 saja terdapat 7 provinsi dan 94 kabupaten/kota yang akan diisi oleh Pj kepala daerah.
Jika merujuk pada aturan yang ada, mekanisme pengisian Pj kepala daerah sebenarnya jelas dan gamblang.
Namun karena ditengarai masuk kepentingan-kepentingan terselubung dengan tujuan di luar semangat penyerentakan pemilu, pengangkatan Pj kepala daerah akhirnya menimbulkan friksi seperti penolakan dari gubernur untuk melantik Pj bupati karena usulan calonnya diabaikan oleh Mendagri.
Baca juga: Apa yang Dicari, Jenderal Andika?
Lebih berbahaya lagi jika tujuan terselubung itu didorong keinginan untuk mengadopsi pola Orde Baru dalam mengamankan kekuasaan.
Sebab sejatinya syarat menjadi Pj kepala daerah sudah tertuang di dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada di mana Pj gubernur berasal dari pimpinan tingkat madya.
Sedangkan untuk Pj bupati dan wali kota diisi dari pimpinan tingkat pratama.