JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menerima delegasi pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) di Istana Merdeka, Senin (25/4/2022)
Dalam pertemuan ini, MRP mengaku menyampaikan aspirasinya selama ini yaitu menolak rencana pemekaran provinsi di Papua.
Penolakan ini bukan hanya aspirasi MRP semata sebagai lembaga representasi kultural, melainkan juga orang asli Papua (OAP).
“Masyarakat OAP melakukan aksi penolakan dengan demo, disampaikan kepada pemerintah pusat. Itu juga sudah kami sampaikan ke Bapak Presiden,” ujar Ketua MRP Timotius Murib dalam diskusi daring yang dihelat Public Virtue Institute, Rabu (27/4/2022).
Baca juga: MRP Pertanyakan Klaim Mahfud soal 82 Persen Rakyat Papua Setuju Pemekaran
Sebagai informasi, sebelumnya DPR RI sudah mengesahkan rencana pembentukan 3 provinsi di Papua, yaitu Pegunungan Tengah, Papua Tengah, dan Papua Selatan, sebagai 3 rancangan undang-undang (RUU) inisiatif parlemen.
Terlebih, rencana pemekaran ini ditempuh DPR dengan mengutak-atik mekanisme, diawali dengan revisi kedua atas Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat.
Melalui revisi kedua itu, DPR menetapkan bahwa pemekaran wilayah di Bumi Cenderawasih bisa dilakukan sepihak oleh Jakarta, dari yang sebelumnya harus atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP).
Sudah begitu, revisi kedua yang dilakukan berkenaan dengan habisnya periode pertama otonomi khusus (otsus) itu tanpa partisipasi yang berarti dari orang Papua.
“Artinya 3 Rancangan Undang-undang Daerah Otonomi Baru yang ditetapkan DPR adalah mekanisme yang salah, tidak mengikuti mekanisme. Oleh karenanya MRP minta kepada Bapak Presiden untuk segera tunda,” jelas Timotius.
Baca juga: MRP Sebut Provinsi Baru Papua Bukan Aspirasi Rakyat, melainkan Elite Lokal
Ia mengaku juga menyampaikan kepada Jokowi bahwa tidak ada urgensi pemekaran wilayah di Papua, apalagi jika dikait-kaitkan dengan cita-cita pemerataan ekonomi dan kesejahteraan.
Terlebih, Indonesia sebetulnya masih melakukan moratorium pemekaran wilayah/daerah otonom baru (DOB).
“Kita lihat 28 kabupaten dan kota di Provinsi Papua, ada PAD (pendapatan asli daerah) tidak? Kecuali Mimika karena di sana ada Freeport,” ujar dia.
“Kemudian soal sumber daya manusia. Kalau pemekaran jadi, jaminan hukum apa orang Papua dikasih kerja, dikasih sejahtera? Partisipasi orang asli Papua dalam pemekaran itu seperti apa, jaminan hukumnya apa, tidak jelas, tidak diatur, kemudian (Jakarta) menggebu-gebu melakukan pemekaran,” ungkap Timotius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.