Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
R Graal Taliawo
Pegiat Politik Gagasan

Doktor Ilmu Politik dari Universitas Indonesia

 

Tantangan UU TPKS

Kompas.com - 20/04/2022, 12:18 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KINI cahaya mulai terlihat di ujung terowongan yang gelap: Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan wujud serius negara untuk menolak bahkan menghapus kekerasan seksual. Produk hukum ini bagian dari dimensi struktural yang memberi kepastian atas perlindungan kita supaya terbebas dari kekerasan seksual.

Meski begitu, kita tak boleh lengah karena itu saja belum cukup. Bahaya laten dari motif kekerasan seksual yang bahkan sudah mengkristal berabad lamanya masih membayangi, yakni dimensi kultural. Tidak mudah mengontrol otak dan pikiran, tetapi kita bisa memulainya dari diri sendiri dan lingkup terdekat.

Baca juga: Pakar Unair: UU TPKS Disahkan, Laporan Kekerasan Seksual Bisa Tinggi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut menyuarakan betapa pentingnya membentuk regulasi untuk mencegah kekerasan seksual. Salah satunya dia sampaikan dalam pidato dua menit pada 4 Januari 2022 yang diunggah di media sosialnya. Secara tersirat, kata Jokowi, regulasi ini dibutuhkan dan mendesak sebagai wujud sekaligus perlindungan maksimal (negara) terhadap korban kekerasan seksual.

Saya sepakat. Setelah berproses selama enam tahun (sejak 2016) dengan banyak dinamika, regulasi ini akhirnya disahkan pada 12 April 2022. UU itu lengkap mengatur pencegahan, penanganan dan pemulihan, serta kewajiban pemerintah daerah untuk terlibat—di luar kekurangannya yang masih menjadi perdebatan.

PR belum tuntas. Masih ada dimensi kultural yang harusnya menjadi fokus dalam isu kekerasan seksual. Dimensi ini fundamental karena pemahaman atasnya memengaruhi kita untuk melakukan kekerasan seksual. Kita perlu memperbincangkan solusinya supaya penyebab asali kekerasan seksual ini tidak direalisasikan.

Budaya patriarki: Fundamental dalam kekerasan seksual

Kekerasan seksual, bukan semata karena regulasi, tapi juga budaya patriarki. Selain regulasi yang longgar, juga karena pengetahuan mengenai kedudukan perempuan melalui budaya patriarki atau ajaran agama yang lekat tapi belum dipahami secara komprehensif.

Tak sedikit kasus kekerasan seksual berlandaskan dalih tersebut. Utamanya adalah hegemoni maskulinitas yang memproduksi posisi sosial di mana laki-laki dominan dan perempuan subordinat.

Paling dekat, kerap kita alami dalam lingkup privat (keluarga). Banyak keluarga secara seksual membedakan peran perempuan dan laki-laki, diatur hanya karena perbedaan jenis kelamin. Seolah perempuan dan laki-laki tidak setara untuk mengakses hak-hak tertentu. Laki-laki boleh melakukan A, perempuan tidak boleh, juga sebaliknya. Umumnya ranah perempuan adalah domestik dan laki-laki selain domestik.

Menurut Millet, institusi patriarki paling utama adalah keluarga (Theorising Patriarchy: The Bangladesh Context, 2009). Patriarki melanggengkan ajaran the rule of the father, bahwa otoritas bapak adalah absolut, mutlak tak dapat didebat. Ini menciptakan pola pikir bahwa laki-laki adalah “segalanya”.

Lambat laun menjadi pembenaran bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan, dan dengan mudah bersifat agresif dan intimidatif terhadap perempuan.

Dalam adat dan budaya tertentu, laki-laki mendapat warisan lebih besar daripada perempuan karena bertindak sebagai kepala keluarga. Ini seolah meniadakan perempuan yang juga memiliki peran sebagai kepala keluarga.

Baca juga: Ragam Ancaman Pidana di UU TPKS: dari Pelecehan Seksual Nonfisik sampai Pemaksaan Perkawinan

 

Lainnya adalah dalam sistem patrilineal, marga hanya bisa diturunkan oleh laki-laki, perempuan tidak bisa. Celakanya, pemahaman budaya patriarki ini latah ke lingkup ekonomi, politik, pekerjaan, dan lainnya.

Budaya patriarki dinilai bersemayam pula dalam ajaran agama. Ada mereka yang menganut ajaran agama tertentu yang membolehkan suami mendominasi dan menguasai istri atas dasar kisah pendahulunya. Agama yang mereka pahami seolah melegalkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Masih relevankah budaya patriarki?

Pemahaman ini tentu merugikan perempuan, mereduksi peran perempuan. Kita perlu mengkajinya ulang. Bisa mulai dari lingkup keluarga dengan merekonstruksi hubungan perempuan dan laki-laki dalam keluarga.

Adalah penting menanamkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, tidak ada batasan mengakses hak yang dibedakan hanya karena jenis kelamin.

Budaya patriarki yang merupakan produk sejarah, apakah masih relevan dengan zaman sekarang? Konteks terdahulu dan transformasi peradaban perlu dipertimbangkan. Tegasnya, budaya jika sudah tidak sesuai dengan hari ini, patut ditinggalkan karena bukan sesuatu yang mutlak.

Selanjutnya, kita perlu memahami budaya dan agama secara holistik, tidak hanya permukaan dasar. Ini membantu kita untuk memahami suatu hal sesuai konteksnya, bahwa budaya atau ajaran tersebut memiliki prasyarat dalam konteks tertentu. Misal, warisan laki-laki dua kali lebih besar karena ada kewajibannya menafkahi istri, sedangkan istri tidak wajib menafkahi suaminya—uang istri adalah uang istri, dan uang suami adalah uang istri.

Pemahaman yang holistik ini membantu kita mengontrol/memagari diri, utamanya otak sebagai pusat kendali. Karena untuk menghapus kekerasan seksual, selain regulasi, kita juga membutuhkan model pemahaman baru yang dirawat sejak dalam pikiran melalui budaya atau ajaran agama.

Dengan itu, cahaya—pemahaman baru mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki—di ujung terowongan yang kita tuju akan terlihat semakin benderang. Di masa mendatang, pemahaman baru ini bagai tetes air yang jatuh, menyebar ke semua lini kehidupan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

KPU Siap Laksanakan Apa Pun Putusan MK soal Sengketa Pilpres 2024

Nasional
KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

KPU Tegaskan Caleg Terpilih Wajib Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Megawati Kirim 'Amicus Curiae' ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Megawati Kirim "Amicus Curiae" ke MK, KPU: Itu Bukan Alat Bukti

Nasional
KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto Tersangka TPPU

Nasional
Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Menko Polhukam Sebut Mayoritas Pengaduan Masyarakat Terkait Masalah Agraria dan Pertanahan

Nasional
Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Menko Polhukam Minta Jajaran Terus Jaga Stabilitas agar Tak Ada Kegaduhan

Nasional
Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Bertemu Menlu Wang Yi, Jokowi Dorong China Ikut Bangun Transportasi di IKN

Nasional
Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Indonesia-China Sepakat Dukung Palestina Jadi Anggota Penuh PBB

Nasional
Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Setelah Bertemu Jokowi, Menlu China Wang Yi Akan Temui Prabowo

Nasional
Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Kasus Pengemudi Fortuner Pakai Palsu Pelat TNI: Pelaku Ditangkap, Dilaporkan ke Puspom dan Bareskrim

Nasional
Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Saat Eks Ajudan SYL Bongkar Pemberian Uang dalam Tas ke Firli Bahuri...

Nasional
Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Menlu Retno Bertemu Menlu Wang Yi, Bahas Kerja Sama Ekonomi dan Situasi Timur Tengah

Nasional
Soroti Kasus 'Ferienjob', Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Soroti Kasus "Ferienjob", Dirjen HAM Sebut Mahasiswa yang Akan Kerja Perlu Tahu Bahaya TPPO

Nasional
Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

Mengkaji Arah Putusan MK dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

Densus 88 Tangkap 7 Terduga Teroris Jaringan Jamaah Islamiyah di Sulawesi Tengah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com