SETIAP merayakan Jum’at Agung, sebagian umat Kristiani mengalami ambivalensi emosi. Di satu sisi, penderitaan dan wafat Yesus Kristus di atas kayu salib menyayat nurani.
Penyaliban adalah dehumanisasi. Seseorang yang disalib darahnya mengucur habis akibat siksaan. Ia akan meninggal secara perlahan dalam kesakitan.
Penyaliban juga meneror nurani. Massa menyaksikan siksa keji perjalanan menuju mati.
Tetapi, dalam peristiwa penyaliban Yesus Kristus, orang banyak menganggapnya sebagai kewajaran. Derita dan wafat-Nya bahkan menjadi olok-olokan (Luk 22:63).
Dalam penyaliban Yesus Kristus terjadi-mengutip Hannah Arendt- banalitas kejahatan.
Di sisi lain, Jum’at Agung adalah penegasan: cinta kasih dan kebenaran tidak akan kalah, selagi ada individu yang berjuang mewujudkannya.
Di hari Jum’at, Yesus Kristus memang terbujur kaku, dengan luka yang mengoyak kalbu. Tetapi, Ia mengatasi mati.
Tiga hari kemudian Yesus bangkit. Kebangkitan-Nya adalah inagurasi, cinta kasih dan kebenaran bisa saja dikalahkan. Tetapi, keduanya selalu menemukan jalan kemenangan.
Kerelaan Yesus Kristus memikul salib adalah respons ilahi yang subtil terhadap kejahatan dan dosa manusia.
Jika “mata ganti mata dan gigi ganti gigi” diberlakukan, tidak ada manusia yang bisa bertahan diadili Tuhan.
Pada sisi lain, kejahatan dan dosa tidak boleh dibiarkan. Jika tidak, maka dosa dan kejahatan akan merajalela. Manusia akan terus menjadi serigala untuk sesamanya.
Dalam dilema menghadapi dosa, Kristus menanggung hukuman dosa untuk diri-Nya. Ia tidak menghukum manusia setimpal dengan dosa yang dilakukan.
Tetapi Ia juga tidak membiarkan dosa bebas tanpa hukuman. Ibarat spon, Ia rela menyerap “air kotor dosa” manusia melalui pengurbanan-Nya di atas kayu salib.
Derita dan wafat-Nya bukan karena Ia bersalah. Ia menderita dan wafat karena menanggung dosa manusia (Yesaya 53:4).
Derita dan wafat Yesus Kristus adalah buah dari kolaborasi jahat kekuasaan sipil dan agama. Keduanya tidak siap menerima kebenaran yang Ia bawa.