KOMPAS.com - Dalam bidang hukum, hak prerogatif adalah hak khusus atau istimewa yang diberikan kepada pemerintah atau penguasa negara, baik kepada seseorang maupun sekelompok orang.
Hak prerogatif presiden adalah hak istimewa yang dimiliki oleh presiden untuk melakukan suatu tindakan demi kepentingan bersama.
Pemberian hak prerogatif bertujuan agar fungsi dan peran pemerintahan dibuka sedemikian luas sehingga dapat melakukan tindakan yang dapat membangun kesejahteraan masyarakat.
Hak prerogatif presiden diatur dalam Undang-undang Dasar atau UUD 1945. Salah satunya adalah pemberian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 14 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
Grasi diatur dalam pasal 14 ayat 1 UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang grasi. Dalam memberikan grasi, maka presiden selaku kepala negara harus meminta persetujuan dari Mahkamah Agung atau MA.
Dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan bahwa grasi adalah pengampunan berupa perubahan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.
Baca juga: Jerat Hukum Annas Maamun: Sempat Dapat Grasi, Kini Dipenjara Lagi
Salah satu contohnya adalah pemberian grasi kepada Antasari Azhar. Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini dipidana atas tuduhan pembunuhan direktur PT Rajawali Putra Banjaran yaitu Nasrudin Zulkarnaen.
Antasari terbukti melakukan pembunuhan dan mendapat hukuman pidana 18 tahun penjara. Setelah beberapa kali mengajukan grasi, akhirnya presiden mengabulkan permohonan dengan memberikan grasi berupa pengurangan masa hukuman selama 6 tahun.
Grasi kepada Antasari Azhar diberikan oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Januari 2017.
Amnesti adalah pengampunan atau penghapusan hukuman pada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti yang diberikan kepada banyak orang disebut amnesti umum.
Presiden memberikan amnesti dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR. Amnesti dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu.
Dalam UU Darurat Nomor 11 Tahun 1954 disebutkan bahwa ketika seseorang mendapatkan amnesti, maka semua akibat hukum pidana orang tersebut dihapuskan. Sehingga, sifat kesalahan orang yang mendapat amnesti tersebut juga hilang.
Salah satunya adalah pemberian amnesti Presiden Jokowi kepada Baiq Nuril Maknun pada 2019.
Nuril dinyatakan bersalah atas tuduhan merekam dan menyebarkan percakapan asusila mantan Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram yang kerap menelponnya. Atas dasar memertahankan harga dirinya, Nuril justru dijerat UU ITE.
Presiden Jokowi menandatangani Keppres untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Nuril yang sebelumnya divonis melanggar UU ITE oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi akhirnya bebas dari jerat hukum setelah terbitnya amnesti.
Baca juga: Jalan Panjang Perjuangan Saiful Mahdi Melawan Pasal Karet UU ITE, yang Berujung Amnesti