JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia diminta menggunakan seluruh cara diplomasi terkait dengan perdebatan soal rencana kehadiran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ke-17 yang bakal digelar pada 15 sampai 16 November 2022 mendatang di Bali.
Sebab, saat ini Amerika Serikat beserta sekutunya memberi sinyal keberatan dengan rencana kehadiran Rusia di ajang itu terkait dengan penyerbuan ke Ukraina.
"Saya kira langkah yang bisa diambil Indonesia adalah open diplomacy, intensive diplomacy, hingga shuttle diplomacy," kata eneliti Pusat Studi Pertahanan dan Perdamaian Universitas Al Azhar Indonesia, Ramdhan Muhaimin, kepada Kompas.com, Jumat (25/3/2022).
Dimensi konflik antara Rusia dan Ukraina saat ini meluas. Amerika Serikat dan sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) serta negara-negara anggota Uni Eropa terus menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Rusia juga tidak tinggal diam dan memberikan sanksi balasan.
Baca juga: Jokowi Dinilai Bisa Mediasi Biden-Putin soal Ukraina Sebelum KTT G20
Peperangan Rusia dan Ukraina yang lebih disebabkan akibat faktor geopolitik NATO serta negara-negara Eropa dan AS dengan Rusia juga dinilai akan berimbas ke hal-hal lain. Menurut Ramdhan, akan sangat sulit bagi forum G20 untuk menghindari dampak politik konflik Rusia-Ukraina itu.
Di sisi lain, negara-negara yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam konflik Rusia-Ukraina adalah anggota G20, seperti Rusia, AS, Jerman, Prancis, Kanada, Inggris, Jepang, dan Turki. Sebagian anggota G20 juga anggota NATO dan sekutu AS, sedangkan China dan India mendukung Rusia.
Ramdhan memperkirakan, jika konflik bersenjata Rusia-Ukraina berkepanjangan maka akan menimbulkan efek domino yang bisa melahirkan krisis pangan global. Sebab, Rusia dan Ukraina adalah negara pengekspor gandum terbesar di dunia. Jika hal itu terjadi, kata Ramdhan, maka akan sangat memukul perekonomian dunia yang saat ini juga lesu akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Pro Kontra Undangan Indonesia untuk Putin di KTT G20 di Tengah Invasi Ukraina
"Dan hal ini saya kira akan menjadi salah satu pembahasan dalam pertmuan puncak G20 nanti jika konflik masih berlangsung sampai medio atau akhir tahun. Karena saya melihat, konflik ini bisa saja berkepanjangan selama ambisi geostrategi Putin belum tercapai," ujar Ramdhan.
Yang dimaksud Ramdhan dengan ambisi geostrategi adalah Putin berharap Ukraina tidak lagi bersikap menantang Rusia dan mengubur ambisi untuk menjadi anggota NATO. Sebab, Rusia menilai jika NATO mempunyai pangkalan di Ukraina maka bisa mengancam keamanan dan integritas wilayah mereka.
Menurut Ramdhan, jika konflik Rusia-Ukraina bisa segera berakhir sebelum perhelatan puncak G20, normalisasi hubungan Rusia dengan Barat (AS, NATO, Uni Eropa) tidak akan mudah.
Pertanyaan lain yang muncul kemudian adalah siapa yang akan menanggung biaya untuk membangun kembali Ukraina yang hancur akibat peperangan.
"Ini hal-hal yang menurut saya membuat normalisasi hubungan Rusia dengan Barat tidak akan mudah. Sangat multidimensi efeknya. Yang pada akhirnya berdampak terhadap stabilitas global," ucap Ramdhan.
Baca juga: Pro Kontra Rusia Datang ke G20, Anggota Komisi I: Diundang atau Tidak Harus Berdasarkan Kesepakatan
AS dan Blok Barat meminta supaya Indonesia mempertimbangkan kembali untuk mengundang Rusia dalam KTT G20 pada November mendatang. Presiden AS Joe Biden meminta supaya Rusia didepak dari Forum itu.
Bahkan Polandia secara terang-terangan mengusulkan kepada AS supaya diizinkan menggantikan keanggotaan Rusia di KTT G20.
Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengancam tidak akan hadir jika Indonesia tetap mengundang Rusia ke KTT G20. Sebab, selama ini Australia menjadi bagian dari pakta pertukaran informasi intelijen The Five Eyes yang melibatkan Kanada, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.