KOMPAS.com – Dalam sejarah Indonesia, tentara dan polisi pernah terlibat secara langsung dalam politik praktis.
Butuh waktu yang lama bagi masyarakat, khususnya mahasiswa, untuk mengeluarkan tentara dan polisi (saat itu masih tergabung sebagai ABRI) dari kehidupan politik praktis.
Berikut perjalanan TNI dan Polri dalam dunia politik dan alasan mengapa TNI dan Polri tidak boleh ikut pemilihan umum (Pemilu).
Baca juga: Apa Arti Dwifungsi ABRI?
Di era pemerintahan Orde Baru, ABRI kerap menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti menteri, gubernur, bupati, dan parlemen.
Saat itu, rezim otoritarian Soeharto melakukan politisasi terhadap ABRI demi melanggengkan kekuasaannya.
Di bawah Soeharto, ABRI mengontrol proses politik pergantian kekuasaan melalui Pemilu. Dalam setiap proses Pemilu, ABRI ikut mengawasi secara langsung dan melakukan intervensi.
Sebelum itu, keterlibatan tentara dan polisi dalam Pemilu juga terjadi di era Orde Lama. Dalam Pemilu pertama yang digelar tahun 1955, semua warga negara yang berusia 18 tahun atau yang sudah kawin berhak memilih.
UU Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berlaku saat itu bahkan mengatur mekanisme hak pilih khusus tentara dan polisi.
Pasal 3 Ayat 1 undang-undang tersebut berbunyi, “Pemerintah mengadakan ketentuan-ketentuan khusus untuk memungkinkan pelaksanaan hak pilih bagi anggota-anggota angkatan perang dan polisi, yang pada hari dilakukan pemungutan suara sedang dalam menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya dan apabila perlu dengan mengadakan dalam waktu sependek-pendeknya pemungutan suara susulan untuk mereka itu.”
Tak hanya itu, ABRI juga dibolehkan untuk maju sebagai calon dalam Pemilu.
Baca juga: Dwifungsi ABRI: Sejarah dan Penghapusan
Saat itu, sejumlah veteran militer dan anggota militer yang tidak aktif mendirikan partai politik, yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) pada 20 Mei 1954, setahun sebelum Pemilu.
Salah satu pendiri IPKI adalah Kolonel AH Nasution, yang dibebastugaskan oleh Presiden Soekarno. AH Nasution kemudian maju sebagai calon anggota parlemen dari IPKI pada Pemilu 1955.
Dalam Pemilu itu, dari 167 calon yang diajukan IPKI, 73 di antaranya berasal dari anggota militer atau tentara.
IPKI yang mayoritas berisi anggota militer secara tidak langsung membuat anggota militer memberikan dukungan kepada partai ini, termasuk dari Divisi Siliwangi. Hasilnya, IPKI memperoleh suara yang cukup besar dari Jawa Barat.
Meskipun perolehan suara secara nasional cukup kecil dan kursi parlemen yang didapat tidak banyak, namun IPKI masuk dalam sepuluh besar partai politik peserta Pemilu 1955.