JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana tentang perpanjangan masa jabatan presiden yang disampaikan sejumlah elite politik terus berjalan. Sejumlah akademisi yang tergabung dalam Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyatakan usulan melakukan amendemen yang disampaikan elite politik demi meloloskan agenda itu adalah bentuk abusive constitutionalism.
"Mengutip David Landau, KIKA menilai rencana perpanjangan masa jabatan presiden melalui amandemen konstitusi adalah bentuk abusive constitutionalism, penggunaan mekanisme yang konstitusional untuk mengubah konstitusi dalam rangka tujuan-tujuan non-demokratis," demikian isi pernyataan pers KIKA yang diterima Kompas.com, Rabu (16/3/2022).
Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dalam abusive constitutionalism. Yaitu ada penguasa yang menggunakan cara-cara perubahan yang diatur di dalam konstitusi untuk mengubah konstitusi yang berlaku.
Baca juga: Isu Perpanjangan Masa Jabatan Presiden dan Wacana Rasa Orde Baru
Ciri lainnya adalah penguasa bakal melakukan berbagai macam amendemen terhadap konstitusi yang sedang berlaku. Dan yang terakhir adalah hal itu tidak sejalan dengan norma konstitusionalisme yang dikelompokkan berdasarkan nilai konstitusi.
KIKA menyatakan mereka merumuskan empat sikap terkait wacana perpanjangan masa jabatan presiden itu.
Yang pertam adalah perubahan konstitusi untuk perpanjangan masa jabatan presiden bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusionalisme.
"Kedua, jantung dari reformasi dan demokratisasi di Indonesia adalah adanya pembatasan masa jabatan presiden. Upaya perpanjangan masa jabatan presiden jelas mencederai semangat reformasi dan hanya akan mengembalikan otoritarianisme di Indonesia," demikian isi pernyataan KIKA.
Baca juga: Yusril: Tak Mungkin Tunda Pemilu, apalagi Perpanjang Masa Jabatan Presiden
Lantas poin yang ketiga adalah wacana perpanjangan masa jabatan presiden adalah penghinaan terhadap konstitusionalisme dan prinsip reformasi demokrasi, serta menandakan makin suburnya oligarki dan kartelisasi partai.
"Pada konteks ini, elite lebih banyak mengejar tujuan-tujuan materialnya sendiri ketimbang memikirkan kemaslahatan rakyat," lanjut KIKA dalam pernyataan pers.
Sedangkan yang terakhir adalah pembatasan masa jabatan presiden adalah bentuk mekanisme saling mengimbangi dan saling kontrol (checks and balancing) di antara kelembagaan negara, seperti yang dipaparkan dalam teori politik ilmuwan Prancis, Montesquieu. Menurut KIKA mekanisme itu penting karena membuat Indonesia menjadi negara yang berlandaskan hukum (rechstaat).
"Tanpa pembatasan, Indonesia akan menjadi machstaat (negara kekuasaan)," lanjut pernyataan KIKA.
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia yang mulanya mengomentari isu terkait perpanjangan masa jabatan presiden pada 2021 lalu.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar lantas mengusulkan gagasan tentang penundaan pemilu 2024. Tidak lama kemudian Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengusulkan hal yang sama.
Selain alasan pemulihan ekonomi, Muhaimin mengatakan banyak akun di media sosial setuju dengan usulannya agar pelaksanaan Pemilu 2024 ditunda.
Menurut analisis big data perbincangan di media sosial, kata Muhaimin, dari 100 juta subjek akun di medsos, 60 persen di antaranya mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.
Baca juga: Kepuasan Kinerja Pemerintah Tak Bisa Jadi Alasan Tambah Masa Jabatan Presiden