PRESIDENSI Indonesia di G20 memiliki makna yang spesial. Sebuah negara menengah mampu mengemban amanah yang besar untuk memimpin negara-negara dengan kekuatan ekonomi yang kuat.
Ada sebuah kepercayaan yang kuat dari negara-negara maju yang membuat Indonesia mendapatkan posisi tersebut.
Terlebih, Indonesia adalah satu-satunya negara berpendapatan menengah keatas (upper middle income country) yang menjadi anggota forum tersebut.
Dengan identitas dan tanggung jawab moral besar yang diemban, membuat Indonesia harus semaksimal mungkin mewakili suara negara berkembang.
Salah satu isu yang Indonesia bawa di periode presidensi kali ini adalah pendidikan. Tepatnya, kualitas pendidikan untuk semua dan teknologi digital dalam pendidikan.
Mempertimbangkan kualitas sektor pendidikan negara berkembang dan negara maju, isu ini menjadi sangat relevan untuk diperjuangkan.
Di Indonesia, masalah pendidikan masih terus membayangi, yang membuat Indonesia masih belum mampu mencetak sumber daya manusia secara optimal. Kita lihat contohnya dari jumlah penduduk menurut jenjang pendidikan.
Menurut data Kemendagri tahun 2021, jumlah penduduk yang tamat SMA jauh lebih banyak dibandingkan yang tamat S1.
Ada sekitar 56,2 juta yang lulus SMA dari 11,6 juta yang lulus S1. Jumlah ini tentu sangat timpang dan ada indikasi bahwa mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia sulit.
Perbedaan pendidikan negara maju dan berkembang adalah kesadaran orangtua akan bakat anak.
Kualitas pendidikan kita masih kalah jauh dibandingkan negara lainnya. Tetapi, Indonesia bisa memanfaatkan posisinya untuk membawa agenda reformasi pendidikan negara berkembang ke ranah global.
Terlebih, negara-negara G20 memiliki sistem pendidikan yang maju dan mapan, sehingga Indonesia bisa memetik manfaat dan pelajaran dari negara-negara maju.
Selain itu, yang lebih penting adalah Indonesia bisa memanfaatkan anak mudanya yang cerdas, kreatif, dan inovatif untuk menghasilkan solusi yang holistik.
Mengejar kualitas pendidikan
Salah satu agenda pendidikan yang dibawa Indonesia adalah kualitas pendidikan itu sendiri. Ada alasan kuat yang mendasarinya.
Pertama, Indonesia sedang dalam proses menjemput peluang demografi. Persentase usia produktif (15-64 tahun) menurut Sensus Penduduk 2020 mencapai angka 70,72 persen. Sebuah aset yang sangat berharga dalam kacamata pembangunan.
Pada tahun 2050, menurut PwC tahun 2017 lalu, PDB Indonesia akan mencapai 10,5 triliun dollar dan menjadi salah satu negara ekonomi terbesar di dunia.
Semua itu bisa dicapai apabila Indonesia memiliki sumber daya manusia yang mumpuni. Akan tetapi, apabila sektor pendidikan tidak berbenah, maka akan menjadi sebuah liabilitas atau kerugian.
Ada tiga data yang membuat isu ini menjadi sangat penting, yaitu Human Development Index (HDI) keluaran UNDP, Human Capital Index (HCI) keluaran Bank Dunia, dan World Talent Ranking dari IMD.
Mari kita mulai dari HDI. Pada tahun 2020, UNDP mengeluarkan HDI yang menggambarkan bagaimana kualitas pengembangan manusia di banyak negara.
Negara anggota Uni Eropa mayoritas berada di kluster very high human development.
Sementara Indonesia berada di peringkat 107 dan termasuk negara dengan high human development.
Meski tergolong cukup tinggi, tetapi Indonesia masih kalah dari Malaysia, Thailand, dan Singapura yang peringkatnya jauh di atas negara kita.
Kemudian pada tahun yang sama ada HCI keluaran Bank Dunia yang lebih spesifik membahas bagaimana kualitas modal manusia di sebuah negara.
Berdasarkan pengukuran mereka tahun 2020, HCI Indonesia berada di angka 0,54. Angka itu masih di bawah perolehan Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Singapura yang HCI-nya di atas 0,6.
Ada data soal kesiapan talenta yang dikeluarkan IMD tahun 2021 lalu yang mengungkapkan bahwa dari 64 negara, Indonesia berada di peringkat 50.
Ada tiga aspek yang menjadi indikator penilaian, yaitu investasi dan pengembangan, appeal (tingkat atraktif suatu negara), dan kesiapan SDM.
Pada indikator pertama, Indonesia berada di peringkat 50, kemudian indikator kedua mendapatkan peringkat lebih baik, yakni 37. Akan tetapi, indikator kesiapan SDM berada di peringkat 53.
Selain secara global, apabila melihat dari kacamata nasional, kualitas SDM di setiap daerah di Indonesia masih belum merata.
Temuan dari Digital Competitiviness Index 2022 menunjukkan bahwa ada ketimpangan dalam SDM.
Misalnya, di DKI Jakarta, skor SDM-nya mencapai 85,02. Sedangkan di Yogyakarta dan Kalimantan Timur skornya masing-masing adalah 40,9 dan 25,7. Jawa Tengah hanya mendapatkan skor 46,6.
Dari data ini, bisa diambil kesimpulan bahwa kualitas SDM masih belum merata di setiap daerah, bahkan di Pulau Jawa sekalipun.
Keseluruhan, kualitas pendidikan Indonesia masih perlu banyak pembenahan. Selain itu, Indonesia juga tertinggal dari sesama negara di Asia Tenggara yang populasinya lebih kecil.
Akan tetapi, populasi dan ukuran sebuah negara tidak menjamin kualitas sumber daya manusia di sebuah negara apabila kebijakan pendidikannya tidak mampu menghasilkan sumber daya manusia yang berkompeten.
Oleh karena itu, terbilang wajar apabila Indonesia menaikkan agenda meningkatkan kualitas pendidikan sebagai salah satu isu terpenting di dunia Pendidikan melaui perhelatan G20.
Infrastruktur: Kartu ‘AS’ perbaikan pendidikan
Infrastruktur memiliki pengaruh yang signifikan bagi kualitas pendidikan di Indonesia. Infrastruktur yang memadai membuat pembelajaran menjadi lebih optimal, siswa mampu mengeksplorasi minat dan bakatnya dengan lebih leluasa, dan guru mampu memfasilitasi murid-murid dengan lebih baik.
Di Indonesia, masalah infrastruktur kerap kali menjadi halangan bagi banyak pihak untuk menyelenggarakan pembelajaran berkualitas tinggi. Kajian Bank Dunia mengafirmasi hal ini.