MAJELIS Umum PBB di New York pada 28 Februari lalu mulai bersidang membahas konflik Rusia-Ukraina.
Di akhir persidangan pada 2 Maret, diadakan pemungutan suara terhadap 193 negara anggota PBB untuk mengesahkan resolusi.
Isi resolusi: menyesalkan (deplores in the strongest terms) agresi Rusia terhadap Ukraina, menyerukan Rusia menghentikan kekerasan (cease its use of force) dan menarik pasukannya dari Ukraina (withdraw its military forces).
Hasilnya: 141 negara mendukung resolusi, 35 abstain dan 5 menolak.
Meskipun resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat secara hukum, hasil voting memberi gambaran sikap mayoritas anggota PBB terhadap agresi Rusia.
Persepsi mayoritas ini bisa menjadi tekanan politik bagi Rusia, yang dapat memengaruhi dinamika deliberasi selanjutnya.
Bagaimana memaknai hasil voting ini dari perspektif politik luar negeri Indonesia?
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam wawancaranya dengan Kompas (4 Maret), mengindikasikan sikap Indonesia terhadap konflik Rusia-Ukraina.
Pada prinsipnya, sikap Indonesia terhadap konflik harus berpedoman pada amanat Konstitusi.
Dalam Mukadimah UUD 1945 jelas diamanatkan bahwa Indonesia “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Ini artinya Indonesia ikut berkontribusi terhadap upaya internasional untuk menjaga perdamaian dunia dengan prinsip kemerdekaan.
Kemerdekaan di sini tidak sebatas pada kemerdekaan politik. Sebuah negara boleh saja merdeka secara politik, tidak di bawah penjajahan oleh negara lain.
Tapi tidak merdeka dalam membuat keputusan karena berada dalam tekanan negara lain.
Indonesia mantap hati menentukan garis politik luar negerinya: merdeka secara politik, tapi juga merdeka dalam mengambil keputusan.
Artinya setiap keputusan diambil tidak atas tekanan negara lain. Tapi semata karena kepentingan nasional.