BEBERAPA waktu lalu Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melansir hasil risetnya tentang pesantren dan terorisme. Ditemukan fakta bahwa 198 pesantren terafiliasi dengan gerakan radikalisme dan terorisme. Sebagian pihak menolak temuan ini. Namun sebagian yang lain mengamini dengan catatan.
Catatan yang dimaksud ialah bahwa pesantren yang terindikasi radikal tersebut bukanlah pesantren mainstream yang sejak awal bersifat moderat. Artinya, pesantren-pesantren radikal tersebut hanya menggunakan nama pesantren, sedangkan ajaran, nilai dan budayanya, justru bertentangan dengan pesantren.
Baca juga: BNPT Sebut Indeks Risiko Terorisme 2021 Lebih Baik dari Target RPJMN
Lalu bagaimanakah budaya pesantren yang hakiki, yang berbeda dengan corak radikal dari pesantren-pesantren temuan riset BNPT? Inilah yang perlu kita pahami agar tidak mudah menyamakan lembaga pendidikan Islam yang menjadi “sarang radikalisme”, dengan pesantren yang justru menjadi basis bagi kontra radikalisme.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang berakar pada model lembaga pendidikan khas Nusantara pra-Islam. Menurut Agus Sunyoto (2015), pesantren berakar pada sistem pendidikan Mandala yang merupakan lembaga pendidikan era Hindu-Buddha.
Istilah santri sendiri berakar dari kata shastri yang artinya pengkaji shastra. Sedangkan makna shastra tersebut ialah kitab suci. Dengan demikian, shastri ialah pengkaji kitab suci, sedangkan pesantren merupakan lembaga pendidikan para shastri (santri).
Keberadaan asrama di mana para santri (shastri) tinggal dan hidup dalam pesantren, membuahkan proses pendidikan menyeluruh. Dalam pesantren, agama tidak hanya dididikkan secara kognitif, tetapi juga afektif dan psiko-motorik. Dimensi psiko-motoriknya juga bersifat khas, yakni etis-spiritual.
Itulah mengapa jauh hari, KH Abdurrahman Wahid (1979) menyebut pesantren sebagai subkultur, yakni sub dari kultur mainstream yang unik, mandiri namun bisa mempengaruhi, bahkan mengubah kultur mainstream.
Sebagai subkultur, pesantren memiliki beberapa ciri yang jauh dari radikalisme, apalagi terorisme.
Pertama, sistem nilai yang unik yang disebut zuhud (asketisisme). Zuhud merupakan nilai yang mengacu pada pemuliaan kehidupan akhirat dengan menjadikan dunia sebagai jalan menuju kesuksesan akhirat. Maka bagi santri, kesuksesan duniawi hanyalah sarana bagi kesuksesan ukhrawi. Pemuliaan terhadap kehidupan akhirat ini yang membuat warga pesantren memuliakan agama.
Dari sini mungkin bisa muncul pertanyaan, “Bukankah para teroris juga memuliakan akhirat sehingga berani mati syahid?” Pada titik inilah perbedaan antara pemahaman keislaman kaum teroris dengan pesantren, terutama tentang jihad.
Bagi para teroris, jihad diartikan sebagai perang (qital) melawan pihak-pihak yang dianggap memusuhi Islam, seperti negara-negara Barat, non-Muslim, termasuk pemerintahan Muslim namun tidak menerapkan syariah Islam.
Hal ini yang berbeda dengan pemahaman pesantren tentang jihad yang lebih bersifat ke dalam diri, yakni jihad dalam memerangi hawa nafsu. Hal ini terkait dengan pemahaman terhadap sistem nilai di dalam Islam, di mana akidah yang diopersionalkan dalam bentuk syariah harus dipraktikkan dalam bentuk akhlak.
Baca juga: Diduga Terlibat Jaringan Terorisme, MUI Kota Bengkulu Nonaktifkan Anggotanya
Jadi, muara utama berislam adalah perbaikan akhlak, etika dan perilaku sebagaimana pengutusan Nabi Muhammad SAW dengan tugas penyempurnaan akhlak (liutammima makarim al-akhlaq). Perbaikan akhlak ini hanya bisa dilakukan melalui pembersihan hati (tazkiyah al-nafs) yang ditempuh melalui tasawuf dan tarekat.
Sistem nilai keislaman yang moderat ini berbeda dengan mazhab keislaman kaum radikal dan teroris. Bagi mereka, akidah dan syariah harus diwujudkan melalui negara, baik dalam bentuk Negara Islam Nasional (daulah Islamiyyah) maupun Negara Islam Internasional (Khilafah Islamiyyah).
Artinya, untuk berislam secara total, kaum radikal menjadikan politik sebagai jalan bagi proses berakidah dan bersyariah. Padahal tidak seperti itu. Untuk berakidah dan bersyariah, seorang Muslim bisa menempuhnya tanpa bantuan negara. Sebab proses menjadi hamba Tuhan yang saleh, selalu berangkat dari komitmen psikis untuk berjalan menuju kepada-Nya.