JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan, ada kelemahan regulasi yang membuat kepatuhan pelaku kejahatan untuk memenuhi restitusi atau ganti rugi kepada korban rendah.
Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution mengungkapkan, berdasarkan data LPSK tahun 2021 lalu, lembaga tersebut telah menghitung resititusi kepada korban senilai Rp 7,43 miliar. Dari jumlah tersebut, yang telah diputus oleh hakim sebesar Rp 3,71 miliar.
Namun, jumlah restitusi yang dibayarkan pelaku kepada korban hanya sebesar Rp 279,53 juta di tahun yang sama.
Baca juga: LPSK Telusuri Aset Herry Wirawan untuk Bayar Restitusi Korban
"Soal kepatuhan eksekusi restitusi oleh pelaku kejahatan, terdapat kelemahan yang elementer dalam regulasi, di mana di undang-undang tidak ada upaya paksa untuk melakukan eksekusi restitusi. Upaya paksa sita harta pelaku untuk kemudian dilelang guna membayar restitusi hanya diatur dalam UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU 21 tahun 2007)," kata Maneger kepada Kompas.com, Kamis (3/3/2022).
Ia mengatakan, hingga saat ini upaya paksa sita harta pelaku untuk dilelang dan dana hasil lelang digunakan untuk membayar restitusi, belum pernah dijalankan oleh jaksa selaku eksekutor putusan pidana.
Di sisi lain, LPSK sebagai institusi yang diberikan tugas dan wewenang untuk melakukan penilaian restitusi oleh UU, tidak memiliki jangkauan kewenangan untuk dapat mengetahui kemampuan pelaku membayar restitusi.
"Misalnya, mengetahui jumlah rekening bank pelaku atau aset-aset lainnya yang sebenarnya informasi tersebut berguna sebagai variabel pertimbangan menentukan jumlah/nilai restitusi yang akan diajukan," kata Maneger.
Menurut Maneger, kepatuhan pembayaran restitusi oleh pelaku kepada korban sebenarnya dipengaruhi oleh upaya LPSK, jaksa, dan penyidik untuk meyakinkan pelaku membayar kepada korban.
Baca juga: Dalam RUU TPKS, Restitusi Jadi Kewajiban yang Dibebankan ke Pelaku Kekerasan Seksual
Di sisi lain, umumnya pelaku mengalami keberatan untuk membayarkan restitusi karena alasan tidak mampu.
"Keberatan pelaku tentunya sangat kasuistis, namun pada umumnya mereka menyatakan tidak mampu. Sementara itu kebenaran mengenai ketidakmampuan pelaku tidak ada yang bisa memastikan kebenarannya. Di sini titik persoalannya," kata Maneger.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.