JAKARTA, KOMPAS.com - Ihwal perpanjangan masa jabatan presiden kembali jadi perdebatan.
Segelintir elite partai politik mengusulkan supaya Pemilu 2024 ditunda. Jika usulan itu terealisasi, tentu presiden dan wakilnya bisa menjabat lebih lama.
Padahal, perihal masa jabatan presiden dan wakil presiden telah tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar (1945).
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan," bunyi Pasal 7 UUD 1945.
Baca juga: Isu Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden, Siapa Berkepentingan?
Pasal 22E Ayat (1) UUD juga tegas mengatur bahwa "Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali".
Sebelum UUD 1945 diamendemen, presiden dan wakil presiden RI bisa menjabat selama lima tahun dan setelahnya dapat dipilih kembali tanpa ada batasan periode jabatan.
Alhasil, Presiden Soekarno menjabat selama 22 tahun, dan Presiden Soeharto menjabat 32 tahun lamanya.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, kekuasaan yang tidak dibatasi akan melahirkan penguasa yang tirani dan sewenang-wenang.
Perilaku sewenang-wenang mungkin muncul akibat pemusatan kekuasaan yang absolut pada presiden.
Terlebih, di negara yang menganut sistem presidensial, presiden tidak hanya bertindak sebagai kepala negara, tetapi juga kepala pemerintahan. Oleh karenanya, otoritasnya sangat besar sehingga perlu dibatasi.
Baca juga: Pro Kontra Penundaan Pemilu dan Kecemasan Orang-orang Sekitar Jokowi...
"Tujuan utamanya adalah untuk menghindari terjadinya tirani kekuasaan dan kesewenang-wenangan yang bisa muncul akibat pemusatan kekuasaan secara absolut pada presiden," kata Titi kepada Kompas.com, Selasa (1/3/2022).
Belum lagi, lanjut Titi, presiden bisa menempatkan orang-orang yang tunduk kepada kehendaknya di pemerintahan.
Dengan begitu, fungsi kontrol (check and balances) terhadap kekuasaan semakin melemah.
"Di situlah penyalahgunaan kekuasaan bisa leluasa terjadi, seperti halnya di masa orde baru di mana negara berhadapan dengan praktik akut korupsi, kolusi, dan nepotisme," ujar Titi.
Sejarah Indonesia dipimpin Presiden Soeharto selama 32 tahun, menurut Titi, merefleksikan terjadinya pemusatan kekuasaan, lemahnya kekuatan penyeimbang, dan adanya kesewenang-wenangan akibat penyalahgunaan kekuasaan.