KOMPAS.com – Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri dalam memeriksa dan memutuskan tentang adanya kekurangan atau kesalahan dalam proses berjalannya perkara pidana.
Praperadilan menjadi alat koreksi terhadap tindakan para penegak hukum.
Aturan mengenai praperadilan tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam Pasal 1 angka 10, terdapat beberapa obyek praperadilan, yaitu:
Praperadilan terkait sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan dapat diajukan atas permintaan tersangka, keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
Baca juga: Indra Kenz Jadi Tersangka, Kuasa Hukum Pertimbangkan Praperadilan
Tersangka, keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka juga dapat mengajukan praperadilan mengenai permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi karena perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Sementara itu, praperadilan atas sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik, penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, misalnya saksi korban.
Dalam proses pemeriksaannya, praperadilan dipimpin hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri. Saat melaksanakan tugas, hakim tersebut dibantu oleh seorang panitera.
Hakim yang ditunjuk kemudian menetapkan hari sidang dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, sekaligus melakukan pemanggilan terhadap pemohon dan termohon praperadilan untuk didengar keterangannya.
Dalam waktu paling lambat tujuh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
Putusan ini tidak dapat dimintakan banding, kecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Untuk putusan ini, pemohon dapat meminta banding sebagai putusan akhir ke pengadilan tinggi.
Referensi: