JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengatakan, elemen pemantauan dan pengawasan penghapusan kekerasan seksual belum diakomodasi dalam Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Karena itu, dia menyampaikan saran kepada pemerintah dan DPR yang akan membahas kembali RUU TPKS, setelah RUU itu resmi menjadi usul inisiatif DPR pada Januari lalu, untuk memasukkan elemen tersebut. Siti menekankan agar pemerintah dan DPR tak lupa mengakomodasi elemen pemantauan dan pengawasan utamanya dilakukan oleh lembaga-lembaga publik.
"Elemen kunci yang belum diakomodir adalah peran lembaga Nasional HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Disabilitas dalam melakukan pengawasan dan pemantauan penghapusan kekerasan seksual," kata Siti saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/2/2022).
Baca juga: Pembahasan RUU TPKS Molor Lagi, Pemerintah Tunggu Undangan DPR
Siti menilai bahwa peran pengawasan dan pemantauan juga seharusnya menjadi tugas bagi lembaga pengawasan eksternal. Oleh karena itu, lembaga-lembaga seperti Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan Komisi Yudisial (KY) diminta perlu diakomodasi sebagai pemantau dan pengawas penghapusan kekerasan seksual.
Siti menjelaskan, keenam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual harus terpenuhi dalam RUU TPKS. Keenam aspek itu yakni tindak pidana, sanksi dan tindakan, hukum acara pidana, hak-hak korban, pencegahan, pengawasan serta pemantauan.
"RUU TPKS telah mengakomodasi lima elemen, yaitu nomor 1-5, walau tetap harus diperkaya dan disempurnakan," ujar dia.
Terkait elemen tindak pidana, Komnas Perempuan mendukung usulan pemerintah untuk penyempurnaan dengan penambahan dua tindak pidana.
"Yaitu, tindak pidana pemaksaan perkawinan dan tindak pidana perbudakan seksual," ujar Siti.
Komnas Perempuan juga mendukung perluasan alat bukti dan mengatur bahwa keterangan satu saksi (korban) cukup sebagai alat bukti keterangan saksi dan ditambah alat bukti lainnya untuk membuktikan kesalahan pelaku.
Terkait hak-hak korban yaitu hak penanganan, perlindungan dan pemulihan, Komnas Perempuan juga mendukung usulan pemerintah untuk penyempurnaan.
Siti berharap, hak-hak tersebut dapat menjadi jaminan untuk korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan.
Terakhir, dia menyatakan sependapat dengan adanya usulan pemerintah untuk penyempurnaan hak pendampingan korban dan restitusi.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej sebelumnya mengatakan, pemerintah dan DPR akan segera melakukan rapat kerja (raker) pembahasan RUU TPKS.
Diharapkan, proses pembahasan itu dapat berjalan lancar hingga proses pengesahan bisa segera dilakukan.
Menurut dia, pemerintah menargetkan pengesahan dapat dilakukan pada pertengahan Maret 2022, usai DPR melakukan masa reses.
"Jadi memang tidak ada niat dari DPR maupun pemerintah untuk menunda pembahasan, kita berharap tanggal 2 Maret itu sebelum Nyepi kita sudah selesai, tunggu persetujuan tingkat pertama, kemudian pengesahan," ucap Eddy.
Dari catatan Kompas.com, ada empat poin penting RUU TPKS yaitu penyidik tak boleh menolak perkara, perkara tak bisa diselesaikan dengan restorative justice, barang bukti bisa jadi alat bukti, dan kewajiban restitusi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.