JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, kurang tepat jika Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menilai restitusi korban yang dibayar negara akan menghilangkan efek jera pada pelaku kekerasan seksual.
"Keliru kalau restitusi dikaitkan dengan efek jera. Restitusi semestinya dikaitkan dengan seberapa jauh efeknya bagi perbaikan kehidupan korban," kata Reza kepada Kompas.com, Kamis (24/2/2022).
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung menyatakan Herry bersalah telah memerkosa 13 santriwati serta menjatuhkan vonis pidana penjara seumur hidup dan restitusi untuk para korban senilai Rp 331,52 juta dibayarkan oleh Kementerian PPPA. Herry menerima vonis itu, sedangkan jaksa penuntut umum mengajukan banding.
Baca juga: PPPA Nilai Pembebanan Restitusi Korban Pemerkosaan Herry Wirawan pada Negara Tidak Tepat
Reza menyampaikan hal itu menanggapi pernyataan Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar.
Reza mengatakan, dia memahami keberatan Kementerian PPPA atas keputusan hakim yang membebankan pembayaran restitusi dalam kasus Herry Wirawan kepada mereka. Namun, menurut dia, hal itu juga sebagai bentuk untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintah.
"Pemerintah dibebani kewajiban membayar ganti rugi kepada korban karena pemerintah dianggap telah gagal melindungi warga negaranya dari aksi kejahatan," kata Reza.
"Jadi, kompensasi dapat dimaknai sebagai 'hukuman' atas kelalaian pemerintah dalam menciptakan ruang hidup yang aman tenteram bagi masyarakat," lanjut Reza.
Baca juga: Pakar Usul Negara Berutang Jika Keberatan Soal Restitusi Korban Herry Wirawan
Dalam diskusi virtual, Nahar kembali membahas tentang vonis yang diberikan majelis hakim pada terpidana kekerasan seksual Herry Wirawan.
“Harus dipertimbangkan bahwa (putusan) ini berpotensi menghilangkan efek jera dan pelaku bebas dari tanggung jawab pidanya,” sebut Nahar dalam diskusi virtual bertajuk Restitusi vs Kompensasi bagi Korban Kekerasan Seksual, Rabu (23/2/2022).
Reza mengatakan, sikap Kementerian PPPA mengajukan keberatan tidak keliru karena restitusi seharusnya memang tidak dibayar oleh negara. Dia mengatakan, istilah restitusi dipakai untuk ganti rugi dari pelaku langsung ke korban kejahatan, yang dalam hal ini adalah perkara kejahatan seksual terhadap anak.
Akan tetapi, Reza juga menyoroti amar putusan hakim yang mengadili perkara Herry Wirawan yang akhirnya memicu polemik.
"Jadi pada sisi pemakaian istilah, majelis hakim perkara Herry Wirawan memang rancu," ujar Reza.
Kendati demikian, menurut Reza bukan berarti negara bisa lepas tangan ketika terjadi peristiwa kejahatan.
Baca juga: Ramai-ramai Anggota DPR Kritik Hakim karena Tak Tambah Hukuman Kebiri untuk Herry Wirawan
Di sisi lain, menurut Reza, sejumlah negara sudah menerapkan kebijakan untuk menyediakan dana bagi korban kejahatan (crime victim fund). Dana itu, lanjut dia, adalah bentuk ganti rugi dari negara bagi korban.
Reza mencontohkan di Amerika Serikat dana ganti rugi untuk korban kejahatan mencapai lebih dari 800 miliar dollar per tahun. Uang itu disetor ke rekening Federal Crime Victim Fund.
Menurut dia, Indonesia juga patut meniru langkah itu dengan membuat regulasinya. Akan tetapi, untuk membedakan dengan restitusi maka ganti rugi dari negara disebut sebagai kompensasi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.